Logo Bloomberg Technoz

Krisis Credit Suisse

Sementara itu, David mengatakan krisis yang terjadi di Credit Suisse merupakan persoalan yang telah lama dialami bank tersebut, tetapi diperparah dengan kondisi pasar sektor finansial yang berada dalam tekanan. 

“Itu [Credit Suisse] bukan masalah baru, sudah persoalan lama. Namun, karena market—terutama sektor finansial—masih dalam tekanan, investor menjual saham-saham perbankan di Eropa. Kebetulan Saudi National Bank juga tidak bisa tambah capital karena, aturan di Swiss, asing hanya bisa kasih modal 10%,” jelasnya. 

Di sisi lain, analis NH Korindo Sekuritas Leonardo Lijuwardi menjelaskan permasalahan Credit Suisse terletak pada isu fundamental, manajemen risiko perusahaan yang kurang baik, serta banyaknya skandal yang menimpa perusahaan. 

“Salah satu masalah terbesar adalah, pada 2021, skandal manajer investasi Archegos yang menyebabkan kerugian estimasi di angka US$ 5,5 miliar,” tambahnya. 

Leonardo mengungkapkan, akibat skandal tersebut dan masalah yang tidak kunjung berkesudahan, valuasi dan harga saham Credit Suisse turun sangat dalam sejak Maret 2021, berbeda dengan bank-bank serupa seperti UBS Group yang jauh lebih stabil.

Dampak ke Indonesia

Terkait dengan dampaknya pada Indonesia, David memproyeksikan adanya outflow dana, terutama dengan adanya sikap hati-hati dari para fund manager. 

“Biasanya, para fund manager itu agak hati-hati. Mereka wait and see dahulu sambil tarik dananya. Itu mengapa mungkin dalam jangka pendek ini ada volatility di pasar modal, tetapi ini pemain di pasar saja. [Hal] yang paling penting rupiah dan inflasi itu relatif terjaga. Nilai tukar kita juga cukup stabil di sekitar Rp 15.400 [per dolar AS]. Ini kondusif untuk sektor riil,” paparnya 

Hal senada juga disampaikan oleh Leonardo Lijuwardi, analis NH Korindo Sekuritas. Dia menilai bahwa, dalam jangka pendek, ada kepanikan secara psikologis atau panic selling terhadap saham saham yang memiliki eksposur terhadap sektor tersebut. 

“Menurut saya, dampaknya tidak signifikan dan tidak sistemik ke Indonesia. Dalam jangka pendek memang akan ada kepanikan secara psikologis atau panic selling terhadap saham saham yang memiliki eksposur terhadap sektor tersebut,” jelas Leonardo. Hal ini, lanjutnya, terlihat dari tekanan jual dan harga saham bank-bank di berbagai belahan dunia yang cukup terkoreksi. 

Lebih lanjut, David menilai perbankan di Indonesia jauh lebih kuat dari bank-bank di AS, terutama dengan kepemilikan aset yang beragam. 

“Karakteristik perbankan kita jauh dengan di sana (AS). Bank regional kita lumayan terdiversifikasi asetnya. Saya perhatikan, dari sisi permodalan, lebih kuat. Menurut saya Indonesia salah satu yang terkuat di dunia untuk CAR-nya,” katanya. 

Secara institusional, lanjutnya, Indonesia memiliki instrumen kehati-hatian yang lebih lengkap dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta berbagai aturan perbankan yang membuat industri perbankan nasional.  

Leonardo menambahkan fundamental perbankan, khususnya bank-bank besar Indonesia,  cukup baik dan memiliki model bisnis berbeda dari bank-bank yang bermasalah tersebut. 

Dia memaparkan SVB dan Signature Bank lebih menyasar pada segmen startup, unbankable, serta kripto. Sementara itu, Credit Suisse menyasar segmen investasi dan  wealth-management. 

“Kita tidak perlu khawatir dikarenakan perbankan kita, terutama big banks, dalam pemberian loan juga cukup konservatif dan hati-hati serta tidak terlalu menargetkan kreditur dengan profil risiko dan sektor bisnis yang memiliki risiko tinggi,” tutup Leonardo. 

(tar/wdh)

No more pages