Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta  – Kalangan ekonom mengestimasikan harga minyak dunia tetap bertahan di level US$80—US$85 per barel sampai akhir tahun ini, meski Arab Saudi dan Rusia kukuh membatasi pasokannya hingga 1 juta barel per hari (bph).

"Kami melihat harga minyak akan stay di level saat ini hingga akhir tahun, dengan kemungkinan turun lebih kuat di kisaran US$80—US$85 per barel," ujar Analis Industri dan Regional Bank Mandiri Ahmad Zuhdi saat dihubungi, Senin (6/11/2023).

Zuhdi mengatakan proyeksi tersebut dinilai lantaran harga minyak dunia belakangan terbukti tidak terlalu terpengaruh sentimen gejolak perang Israel-Hamas, yang sebelumnya sempat diyakini bakal mengganggu pasar global.

Seiring dengan hal itu, Zuhdi pun berpendapat bahwa Rusia dan Arab Saudi negara itu akan melanjutkan melakukan pembatasan pasokan minyak hingga tahun depan.

Pagi ini, harga Brent untuk penyelesaian Januari naik 0,4% menjadi US$85,21/barel, sedangkan WTI untuk pengirim Desember naik 0,6% menjadi US$80,96 per barel

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai anomali harga minyak belakangan ini lebih dipicu oleh sentimen perpanjangan pemangkasan produksi sebanyak 1,3 juta barel per hari oleh anggota OPEC dan Rusia.

Keputusan tersebut mendorong kekhawatiran terhadap suplai minyak global sehingga harga terdorong naik ke atas US$90 per barel nyaris sepanjang kuartal III-2023.  Namun, saat ini, harga minyak dunia mulai melandai ke level US$85/barel.

“Tren ini memang perlu diwaspadai mengingat asumsi [harga minyak dalam] RAPBN 2024 berada di level US$82 per barel, atau di bawah level harga yang sempat menyentuh level US$96 per barel [pada September],” kata Josua.

Meski terdapat risiko kenaikan harga minyak kembali akibat eskalasi konflik antara Israel dan Hamas, Josua menilai masih terdapat sejumlah faktor yang dapat menurunkan harga minyak ke depan dan mencegahnya bergerak kembali ke level tertinggi.

Pertama, dolar yang masih berpotensi menguat saat ini akan menekan harga minyak, mengingat transaksi komoditas hampir seluruhnya menggunakan dolar sehingga penguatan dolar akan membuat minyak menjadi relatif lebih mahal bagi konsumen.

Kedua, pelemahan ekonomi China juga berpotensi menurunkan permintaan minyak mentah karena China merupakan konsumen terbesar minyak mentah global.

Ketiga, ekspektasi pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan pada 2024 diperkirakan tidak sebaik tahun ini.  

“Dengan demikian, ini juga akan menjadi sentimen penekan harga minyak mentah ke depan,” ucapnya.

Di tingkat global, Arab Saudi dan Rusia menegaskan kembali akan tetap membatasi pasokan minyak lebih dari 1 juta barel per hari hingga akhir tahun, meskipun gejolak di Timur Tengah mengganggu pasar global.

Para pemimpin koalisi OPEC+ mengumumkan rencana tersebut dalam pernyataan resmi terpisah pada Minggu. Riyadh telah memotong produksi minyak mentah harian sebesar 1 juta barel dan Moskwa membatasi ekspor sebanyak 300.000 barel, di luar pemangkasan sebelumnya yang dilakukan bersama dengan negara-negara OPEC+ lainnya.

Berdasarkan pernyataan via Saudi Press Agency, Arab Saudi akan meninjau volume produksinya bulan depan dan akan mempertimbangkan untuk "memperpanjang pemangkasan, memperdalam pemangkasan, atau meningkatkan produksi."

Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, mengulangi komentar Arab Saudi mengenai kebijakan produksi masa depan dalam pernyataan terpisah.

Harga minyak telah berfluktuasi dalam beberapa pekan terakhir karena kekhawatiran bahwa konflik antara Israel dan Hamas dapat meningkat menjadi konflik regional yang lebih luas, yang melibatkan produsen minyak besar seperti Iran.

Kontrak berjangka Brent ditutup di bawah US$85/barel di London pada Jumat.

(ibn/wdh)

No more pages