“Kalau cukai pembelian cuma satu kali. Kalau ini ya setiap tahun dia harus bayar, kayak orang yang beli rokok kan kelihatan. Mungkin cukai itu untuk kesehatan atau lain-lain,” sebutnya.
Menurutnya, jika tidak ada insentif pemerintah juga harus mengambil langkah lain untuk menghukum pengguna kendaraan BBM.
“Kalau memang kita tidak bisa mendapatkan insentif, bukan masalah, tapi juga jangan terus kemudian yang membuat polusi itu tidak di-penalize,” pungkasnya.
Selain itu, Prabowo menyebut pengakhiran skema insentif impor CBU (Completely Built-Up) mobil listrik oleh pemerintah Indonesia membawa sejumlah dampak signifikan. Dampak ini dapat dirasakan perusahaan kendaraan listrik asing yang saat ini memasarkan EV mereka di Indonesia.
Mulai dari bea masuk dan harga jual yang akan meningkat. Kata Prabowo, tanpa insentif, kendaraan listrik CBU akan dikenakan bea masuk, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan pajak impor lainnya.
Ia melanjutkan, dampak lainnya adalah terjadi penurunan daya saing produk impor. Produk dari merek asing yang belum berinvestasi lokal, misalnya VinFast dan Beyond Your Dream (BYD) jika belum produksi lokal, akan kehilangan daya saing harga.
Sementara merek lainnya seperti Wuling, Hyundai, dan DFSK– yang sudah punya pabrik di Indonesia–akan lebih diuntungkan dibanding pesaing CBU murni.
Tak hanya itu, menurut Prabowo, akan ada perubahan strategi pemasaran dan model produk. Di mana, pabrikan asing perlu memilih model EV yang layak untuk produksi lokal agar efisien secara biaya.
(ain)






























