Logo Bloomberg Technoz

Lebih lanjut, Meidy menambahkan pemerintah juga berencana merevisi formula harga patokan mineral (HPM) nikel selain memangkas produksi. Dengan begitu, harga bijih nikel di Tanah Air diharapkan dapat kembali menguat.

“Formulasinya sekali lagi saya mungkin belum bisa sampaikan karena menjadi kerahasiaan kita dengan [Ditjen] Minerba,” ujar Meidy.

“Pak Dirjen minta saya untuk tidak dipublikasikan dahulu sampai final, karena saat ini sudah dalam negosiasi dengan Pak Menteri [ESDM]. Namun, tanda-tandanya Pak Menteri juga setuju [usulan] revisi kita,” lanjut dia.

Permintaan dan daya tahan cadangan nikel Indonesia./dok. APNI

Dana Tambang

Meidy mengungkapkan ketika pendapatan perusahaan pertambangan nikel tersebut naik, APNI menyarankan pemerintah untuk membentuk Environment Deposit Fund yang akan mengelola setoran dana sejumlah keuntungan perusahaan tambang nikel.

Dana kelolaan tersebut, kata Meidy, dapat dimanfaatkan untuk membiayai perbaikan lingkungan, dana yang bisa digunakan saat terjadi bencana, hingga dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi tambang nikel.

“Nanti mungkin akan dibebankan namanya deposit fund. Akan tetapi, kan perusahaan sudah untung ya, kalau [harga bijih nikel] sudah di atas US$30 untung kali. Nanti akan dibebankan deposit fund,” ujar Meidy.

Adapun, Meidy membeberkan target produksi bijih nikel dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2026 direncanakan di sekitar 250 juta ton, turun drastis dibandingkan dengan target produksi dalam RKAB 2025 sebanyak 379 juta ton.

Meidy menjelaskan rencana produksi tahun depan ditetapkan lebih rendah demi menjaga harga nikel agar tak makin turun.

“Rencana pemerintah gitu [produksi nikel di RKAB 2026 250 juta ton]. Rencana ya? Namun, kan saya enggak tahu realisasinya,” kata Meidy, ditemui usai kegiatan tersebut.

“Biar harga naik dong. Kalau produksi terlalu over kan harga pasti turun ya."

Meidy menerangkan, berdasarkan kajian asosiasi yang dilakukan pada tahun ini, pasokan nikel di pasar global diprediksi surplus sekitar 209 juta ton, sementara pada tahun depan surplusnya diprediksi mencapai 261 juta ton.

Dia menerangkan 65% dari total surplus pada 2026 tersebut berasal dari Indonesia, sehingga Indonesia diharapkan dapat mengontrol pergerakan harga nikel global.

Meidy memprediksi kondisi surplus tersebut berisiko bisa membuat harga logam nikel global di London Metal Exchange (LME) terjerembab ke level US$12.000/ton dari rerata saat ini di kisaran US$14.000—US$15.000 per ton.

“Kalau Indonesia bisa menurunkan kapasitas produksi, harganya bisa naik. Itu sudah pasti hukum alam. Kalau oversupply, demand turun, harga juga ikut turun,” ungkap Meidy.

Sebagai catatan, pada hari ini logam nikel diperdagangkan senilai US$14.346/ton di LME, lebih rendah 1,65% dari penutupan hari sebelumnya.

Harga logam nikel sempat mencapai rekor di atas US$100.000/ton pada Maret 2022 akibat short squeeze pasar, tetapi sejak itu harga menurun tajam.

Sepanjang 2024, harga menyentuh rekor terendah dalam 4 tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.

Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terjun bebas 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.

(azr/wdh)

No more pages