Logo Bloomberg Technoz

Meidy mengaku belum dapat mengungkapkan materi revisi formula HPM nikel tersebut. Dia hanya membocorkan nantinya mineral ikutan nikel seperti kobalt berpotensi terkena royalti sebab diperlakukan sebagai mineral tersendiri.

“Itu akan masuk dalam formulasi. Kan sudah ada produk kobalt, kobalt sulfatnya sudah ada. Masak materialnya gratis. Pokoknya ada mineral pengikut yang kita minta pemerintah untuk hitungkan masukkan ke dalam revisi, pokoknya ada beberapa lah,” tutur Meidy.

Dalam kesempatan sebelumnya, Meidy sempat memberikan solusi alternatif yang bisa ditempuh pemerintah dalam menerapkan penyesuaian tarif royalti sektor minerba, tanpa harus mencederai pelaku industri pertambangan nasional.

Menurut Meidy, alih-alih menaikkan royalti dengan sistem tarif progresif kepada mineral logam dasar, pemerintah dapat menerapkan royalti baru terhadap mineral-mineral ikutan yang selama ini belum terpapar tarif minerba.

“Mineral ikutan itu ada berbagai macam. Misalnya kobalt, lalu fero [Fe atau besi]. Itu kan ada produknya dan mineral pengikut itu juga punya value. Dia bukan mineral kotor, tetapi punya nilai seperti kobalt yang bisa diolah sebagai bahan baku prekursor katoda untuk baterai NMC [nickel cobalt manganese],” ujar Meidy saat dihubungi, Rabu (12/3/2025).

Di industri baterai, lanjutnya, kobalt sebagai mineral ikutan nikel memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Akan tetapi, selama ini pemerintah hanya menerapkan harga mineral acuan (HMA) kobalt dan belum memperhitungkan formulasi harga untuk bahan baku atau bijihnya.

“Kalau itu bisa dihitung dan dikategorikan sebagai mineral pengikut, kan bisa diterapkan royalti entah 2% atau 10%. Tentu negara kan ada penghasilan tambahan, dan itu angkanya lumayan signifikan karena harga kobalt dua kali lipat [dari harga nikel] walaupun nilai konten kobalt dalam nikel itu hanya 0,1%,” terang Meidy.

Dia menggambarkan kandungan kobalt ikutan dalam bijih nikel yang diperdagangkan pada 2023—2024 mencapai sekitar 0,1%. Jika kobalt ikutan tersebut dikenai royalti, Meidy menyebut pemerintah sebetulnya berpotensi mendapatkan tambahan pemasukan sekitar US$600 juta.

Dengan demikian, dia mengusulkan agar pemerintah lebih baik menerapkan royalti kobalt sebagai mineral ikutan dari bijih nikel, ketimbang menaikkan tarif royalti progresif untuk bijih nikel itu sendiri.

Seorang pekerja tambang memegang bongkahan logam kobalt yang menunggu pengiriman di Chingola, Zambia. Fotografer: Waldo Swiegers/Bloomberg

Di dalam dokumen paparan usulan penyesuaian tarif royalti oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang dilihat Bloomberg Technoz, logam kobalt sebagai produk ikutan nickel matte sebenarnya sudah diusulkan pemerintah untuk dikenai tarif royalti.

Selama ini, kobalt tidak termasuk golongan mineral yang terpapar royalti. Namun, Ditjen Minerba mengusulkan agar kobalt dikenai iuran royalti single tariff sebesar 1,5% dan kobalt ikutan nickel matte dikenai royalti single tariff 2%.

Hanya saja, Meidy menilai usulan tersebut belum mencakup formulasi harga bijih kobalt, sehingga penerapan royaltinya berpotensi rancu.

“Misalnya begini, saya menjual bijih nikel [kadar 1,5%] dengan HMA US$30/ton. Namun, di situ ada kandungan kobaltnya 0,1%. Nah, itu formulasi perhitungan [harga kobalt ikutan untuk menentukan royalti] bagaimana? Karena HMA kobalt ada, tetapi kan selama ini belum ada transaksinya,” tutur Meidy.

“Kalau itu diperhitungkan, akan ada potensi penambahan penerimaan negara kan. Negara bisa mendapatkan duit, tetapi tidak dengan menekan perusahaan atau pengusaha. Fair gitu loh. Kalau membebani perusahaan, nanti tidak ada lagi yang mau produksi.”

Sekadar informasi, dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM, tarif royalti untuk bijih nikel ditetapkan sebesar 14%—19%.

Adapun, produk olahan seperti feronikel (FeNi) hingga nickel pig iron (NPI) yang dikenakan tarif 4%—7%.

APNI sendiri sempat mengusulkan agar formula HPM diperbarui dengan memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada bijih limonit, yang selama ini belum dimonetisasi.

Dalam perhitungannya, estimasi tersebut menunjukkan bahwa penyesuaian ini dapat meningkatkan HPM hingga lebih dari 100%, tergantung karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi.

Di sisi lain, APNI juga mengusulkan evaluasi atas corrective factor (CF) HPM untuk FeNi yang kini tidak lagi relevan, serta penyesuaian satuan transaksi dari US$/DMT ke US$/ton nikel murni atau US$/nickel unit sesuai praktik pasar internasional.

Meskipun demikian, APNI tetap berkomitmen mendukung agenda hilirisasi nasional dan mendorong agar kebijakan fiskal di sektor minerba dapat diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan.

(azr/wdh)

No more pages