Logo Bloomberg Technoz

Meidy menerangkan, berdasarkan kajian yang dilakukan asosiasi pada tahun ini, pasokan nikel di pasar global diprediksi surplus sekitar 209 juta ton, sementara pada tahun depan surplusnya diprediksi mencapai 261 juta ton.

Dia menerangkan 65% dari total surplus pada 2026 tersebut berasal dari Indonesia, sehingga negara ini diharapkan dapat mengontrol pergerakan harga nikel global.

Meidy memprediksi kondisi surplus tersebut berisiko membuat harga logam nikel global di London Metal Exchange (LME) terjerembab ke level US$12.000/ton dari rerata saat ini di kisaran US$14.000—US$15.000 per ton.

“Kalau Indonesia bisa menurunkan kapasitas produksi, harganya bisa naik. Itu sudah pasti hukum alam. Kalau oversupply, demand turun, harga juga ikut turun,” tutur Meidy.

Meidy memandang turunnya rencana produksi 2026 tersebut akan disubstitusi oleh impor yang dilakukan oleh perusahaan smelter.

“Ya pasti mereka kan solusi untuk impor lah. Kita enggak berhak menahan impor kan, kecuali pemerintah mengeluarkan aturan tidak boleh impor."

Sekadar informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendukung langkah Kementerian Perindustrian membatasi penerbitan izin investasi dan Izin Usaha Industri (IUI) bagi smelter nikel baru, sebab pasokan nikel dunia dan Tanah Air sudah mencapai level berlebih atau oversupply.

Dengan begitu, Kementerian ESDM juga berencana menyesuaikan target produksi dan kuota produksi nikel 2026.

Dalam kaitan itu, Kementerian ESDM membuka peluang memangkas produksi nikel dalam RKAB 2026 menjadi di bawah besaran tahun ini.

“Kalau moratorium untuk itu, karena kita oversupply untuk itu, ya kita dukung lah kalau itu,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara ESDM Tri Winarno di kantor Kementerian ESDM, Senin (10/11/2025).

Pokoknya yang lebih-lebih tinggi kita evaluasi lah. Kan over 300.000-an ton, Bisa jadi [dibawah 300.000 ton],” tegas Tri.

Sebagai catatan, Kementerian Perindustrian mengonfirmasi telah memperketat penerbitan IUI smelter nikel standalone—atau yang tidak terintegrasi dengan tambang — baik jenis pirometalurgi maupun hidrometalurgi.

Kini, pengusaha nikel tidak diperkenankan membangun smelter baru yang hanya mengolah nikel menjadi produk antara nikel seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Setia Diarta menjelaskan hilirisasi nikel di Indonesia didorong tidak lagi diolah hingga kelas dua yakni NPI, FeNi, nickel matte, MHP; melainkan pada produk yang lebih hilir seperti nickel electrolytic, nickel sulphate, dan nickel chloride.

Akan tetapi, Setia mengungkapkan Kemenperin masih memberikan kelonggaran bagi smelter nikel yang sudah memasuki tahap konstruksi dan berencana mengolah nikel menjadi produk antara atau intermediate.

“Sesuai RIPIN PP No. 14/2015, untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025—2035 bukan lagi pada nikel kelas 2,” kata Setia ketika dihubungi Bloomberg Technoz.

Di sisi lain, Setia menegaskan hal tersebut juga dipertegas dalam Peaturan Pemerintah No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang diteken Prabowo pada 5 Juni tahun ini.

Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa pengajuan izin pembangunan smelter baru harus menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNI dan nickel matte bagi pihak yang berencana membangun smelter nikel berbasis pirometalurgi.

Setia menyatakan nantinya Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) akan mengirimkan daftar smelter yang sedang dalam tahap konstruksi.

Setelah itu, lanjut dia, daftar tersebut akan disampaikan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian).

(azr/wdh)

No more pages