Kombinasi ini memicu peringatan akan "guncangan kedua dari China," dengan kekhawatiran bahwa gelombang barang murah akan membanjiri produsen di kawasan tersebut. Namun, Lowy mengatakan dampaknya jauh lebih kompleks—dan bagi banyak ekonomi, justru positif secara tak terduga.
"Alih-alih menyusut, ekspor ke AS justru meningkat pesat karena barang-barang Asia Tenggara menggantikan barang-barang China di pasar Amerika," jelas para ekonom Lowy.
"Ekspor ke pasar lain juga tumbuh pesat, meski ada kekhawatiran bahwa pasar-pasar ini akan akan tergeser oleh barang-barang murah China yang dialihkan dari AS."
Meski peran China dalam rantai pasokan global semakin besar, Asia Tenggara tetap terdiversifikasi dengan baik dan "secara geopolitik selaras" dengan AS. Hal ini, lanjut mereka, memberi kawasan ini kesempatan untuk menawarkan diri pada Washington sebagai alternatif dari ketergantungan ekonominya pada China.
"Masa depan perdagangan global masih belum pasti. Namun, Asia Tenggara dalam posisi yang jauh lebih baik untuk menghadapi hal ini daripada yang diperkirakan secara luas," papar para ekonom tersebut.
Mereka menambahkan bahwa keterbukaan dan daya saing kawasan ini menempatkannya di pusat upaya global untuk memperdalam perdagangan berbasis aturan.
"Hal ini memberi kawasan ini lebih banyak pilihan di tengah gejolak perdagangan dan geo-ekonomi saat ini."
(bbn)

































