Logo Bloomberg Technoz

Naiknya IKK pada bulan ini merupakan angka tertinggi sejak Februari tahun ini, dan membuat prospek ekonomi domestik meningkat sebanyak 3,2 poin menjadi 136,6. Persepsi kondisi ekonomi juga naik 2,4 poin menjadi 111,5, dan tingkat pendapatan meningkat 4,4 poin menjadi 121,5.

Begitu juga dengan ekspektasi pendapatan untuk enam bulan ke depan naik 2,2 poin menjadi 140,6, dan ekspektasi ketersediaan pekerjaan selama enam bulan ke depan meningkat sebanyak 3,3 poin menjadi 135,3. 

Jadi Penopang Pertumbuhan?

Kenaikan IKK ini hadir pada momentum yang cukup krusial. Sebab, memasuki babak terakhir 2025, ekonomi Indonesia tengah menghadapi tantangan eksternal, di tengah melemahnya permintaan global, tekanan geopolitik di pasar komoditas, serta volatilnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Dalam komposisi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 52%, sehingga sentimen konsumen ini dapat menjadi indikator utama.

Sejarah menunjukkan, setiap kali IKK bergerak naik konsisten dalam dua sampai tiga bulan, penjualan ritel biasanya ikut terkerek dalam siklus berikutnya, yang kemudian kredit konsumsi dan penyerapan tenaga kerja juga ikut membaik. Artinya, tantangan selanjutnya adalah bagaimana memastikan sentimen positif ini berubah jadi daya beli yang bisa menopang laju pertumbuhan ekonomi secara lebih stabil dan berkelanjutan.

Sambil terus menjaga momentum, setidaknya sementara ini, IKK November yang menguat jadi ruang optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi bisa terjaga, paling tidak hingga awal 2026, jika inflasi inti tetap stabil di bawah 3% dan rupiah tidak menghadapi tekanan dan kejutan dari faktor eksternal. 

Efek Guyuran Likuiditas? 

Naiknya IKK dua bulan beruntun bisa jadi sinyal positif dari guyuran likuiditas yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan pada September lalu. Pada bulan Mei, IKK sempat merosot ke 117,5 kemudian naik tipis ke 117,8 pada Juni dan 118,1 pada Juli. Tren penurunan IKK terjadi pada Agustus 117,2 dan mencapai titik terendah pada September 115.   

"Indeks kepercayaan masyarakat (pada) Agustus-September itu jatuh, September itu level bahaya. Jika tidak dibetulkan maka akan turun, kita akan menghadapi kegoncangan sosial-ekonomi," tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam wawancara di salah satu siniar bersama Gita Wirjawan yang rilis pada Rabu (3/12/2025). 

Guyuran likuiditas oleh Kementerian Keuangan ini ditujukan untuk memantik daya beli, sehingga sentimen menjadi lebih positif dan menahan laju perlambatan permintaan domestik. Dengan kenaikan IKK dua bulan terakhir, jadi sinyal bahwa konsumen mulai kembali percaya diri.  

Bagaimana Selanjutnya?

Meski IKK menguat, sejumlah tantangan tetap membayangi laju pergerakan ekonomi Indonesia. Sebab, seringkali sentimen tidak selalu sejalan dengan daya beli riil. Kenaikan IKK belum tentu diikuti peningkatan pendapatan riil. Apalagi ada data menyebut tingkat partisipasi kerja merosot di tengah penurunan tingkat pengangguran terbuka. 

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2025 menunjukkan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun 0,06% menjadi 4,85%, namun Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga turun menjadi 70,59% per Agustus 2025 dari 70,63% dari periode sama tahun 2024. Turunnya angka TPAK ini jadi indikator semakin banyak penduduk usia kerja yang keluar dari pasar tenaga kerja, dan bisa jadi tanda semakin besar potensi tenaga kerja yang belum termanfaatkan. 

Dengan besarnya potensi tenaga kerja yang tidak termanfaatkan menunjukkan sektor manufaktur belum pulih sepenuhnya. Sehingga, tingkat ketergantungan pada konsumsi domestik masih cenderung tinggi, dan membuat ekonomi menjadi rentan jika sentimen kembali melemah. 

Selain itu, kebijakan fiskal yang ikut menopang pemulihan ini mungkin hanya berlaku dalam jangka pendek. Sehingga, untuk bisa memperpanjang angka IKK di atas 120-an secara berkelanjutan, Indonesia masih memiliki sejumlah pekerjaan untuk mengatasi tantangan struktural, termasuk persoalan produktivitas dan sektor riil. 

Jika pemangku kebijakan mampu mengatasi tantangan struktural ini, setidaknya sentimen positif ini akan bertransformasi menjadi daya beli yang lebih kuat, konsumsi yang lebih stabil, dan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lebih berkelanjutan. 

(riset/aji)

No more pages