“Sebetulnya ahli gizi itu tidak kurang. Kita punya lulusan cukup banyak, ribuan per tahun,” ucap dia.
Namun, persoalan bukan berada pada sisi hulu, melainkan di hilir—ketika masuk dunia kerja.
Tan menyebut, isu yang membuat profesi gizi tidak bertahan lama di lapangan adalah absennya kepastian dan jenjang karier.
Banyak lulusan yang melamar hingga akhirnya bekerja di mitra pelaksana MBG, yakni , tetapi tidak mendapatkan skema kontrak yang jelas. “Tidak ada kejelasan kontraknya, jenjang kariernya, apakah MBG bakal selamanya atau bagaimana,” ungkap Tan.
Sebagian ahli gizi, lanjut Tan, bahkan memilih hengkang dari sistem karena tekanan intervensi yang kuat dari pemilik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak memahami prinsip ilmu gizi.
Ia mengkritik dominasi keputusan yang seharusnya berada di ranah fungsional profesi, tetapi justru diambil oleh pemilik unit usaha atau struktur manajemen SPPG.
Contohnya terjadi pada pengaturan menu. Saat ahli gizi menetapkan menu sehat berbasis pangan lokal, keputusan itu kerap dipatahkan oleh pemilik SPPG dengan dalih kesukaan anak.
“Misalnya ahli gizi sudah menentukan, besok kita buat menu tempe bacem. Kata bos SPPG: anak-anak enggak suka, kasih sosis saja,” ucap Tan.
Padahal menurut Tan, sosis tergolong produk pangan ultra proses (UPF) yang tidak direkomendasikan dalam skema menu harian anak. “Ahli gizi mengatakan itu UPF, tidak sehat. Tapi menu dan bahan baku diubah seenaknya sesuai keinginan bos SPPG,” kata dia.
Situasi ini, menurutnya, menciptakan keresahan profesional yang mengikis independensi profesi gizi dalam menjalankan praktiknya.
Ia menegaskan, jika pola relasi dan manajemen program MBG ingin berkelanjutan, kepastian karier dan otoritas fungsional tenaga ahli harus ditegaskan, termasuk membangun ekosistem kerja yang memahami standar gizi berbasis bukti ilmiah. “Itu yang bikin ahli gizi gerah,” ujar Tan.
Pakar Ahli gizi menyoroti pernyataan Badan Gizi Nasional (BGN) yang memperluas kualifikasi pendidikan untuk rekrutmen SDM program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini masih kekurangan.
Dalam kutipan terbarunya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menekankan prioritas pada sarjana gizi, namun membuka peluang bagi lulusan kesehatan masyarakat, teknologi pangan, pengolahan makanan, hingga keamanan pangan.
Dikarenakan ketersediaan sarjana gizi terbatas seiring perluasan program makan bergizi gratis (MBG). Untuk itu pemerintah membuka opsi dari arah lain.
Hal tersebut agar MBG bisa menyentuh 80 juta penerima manfaat pada April 2026 mendatang.
“Utamanya sarjana gizi. Tapi sekarang boleh sarjana kesehatan masyarakat, sarjana teknologi pangan, sarjana pengolahan makanan, dan sarjana keamanan pangan,” ujarnya saat ditemui di Kementerian Koordinator bidang Pangan, Rabu (12/3/2025).
(dec/spt)

































