PLTA Batang Toru berlokasi di Desa Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut. PLTA ini memiliki kapasitas pembangkit 510 megawatt (MW) (4x127,5 MW).
PLTA Batang Toru dibangun di area seluas 650 hektare (ha) dan mempekerjakan sekitar 600 orang tenaga kerja.
Dalam catatan Kementerian ESDM, pihak pengembang telah melakukan berbagai upaya terkait dengan rekomendasi Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk membangun koridor lintasan satwa liar yaitu Orangutan Tapanuli yang selama ini secara alamiah melalui connecting tree.
Adapun, dalam keterangan tertulis Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dijelaskan pada November lalu PLTA Batang Toru dijadwalkan memasuki fase penggenangan bendungan dengan volume air mencapai 18 juta meter kubik.
Berdasarkan rencana yang dicanangkan, satu dari empat turbin PLTA Batang Toru mulai beroperasi akhir Desember 2025.
“Pada 2027 kita sudah boleh berharap bagi hasil untuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Ini perjuangan mendatangkan investasi untuk daerah,” kata Bupati Tapanuli Selatan Gus Irawan Pasaribu, dalam keterangan tertulis.
Sebagai informasi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Utara sebelumnya menuding aktivitas sejumlah perusahaan di kawasan ekosistem Batang Toru, salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumut, memperparah banjir bandang yang terjadi di wilayah tersebut.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba menyatakan organisasinya mengindikasikan tujuh perusahaan turut memicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru.
Perusahaan yang dimaksud, antara lain; PT Agincourt Resources (PTAR) pengelola tambang emas Martabe; PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pengelola PLTA Batang Toru; PT Pahae Julu Micro Hydro Power pengelola PLTMH Pahae Julu; dan PT SOL Geothermal Indonesia pengelola Geothermal Taput.
Lalu, PT Toba Pulp Lestari Tbk. (INRU), pengelola unit perkebunan kayu rakyat (PKR) di Tapanuli Selatan; PT Sago Nauli Plantation, pengelola perkebunan sawit di Tapanuli Tengah; hingga PTPN III Batang Toru Estate pengelola perkebunan sawit di Tapanuli Selatan.
“Dalam delapan tahun terakhir Walhi Sumut mengkritisi terus-menerus model pengelolaan Batang Toru, misalnya PLTA Batang Toru. Selain akan memutus habitat orang utan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai dan aliran sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan,” kata Rianda dalam keterangan tertulis, yang diterima Selasa (2/12/2025).
“Selain itu juga pertambangan emas yang berada tepat di sungai Batang Toru,” tegas Rianda.
Rianda juga menyoroti aktivitas kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari di kecamatan Sipirok. Walhi menuding aktivitas tersebut mengalihfungsikan hutan.
Terkait dengan berdirinya PLTA Batang Toru, Rianda menyatakan pembangkit tenaga air tersebut menyebabkan hilangnya lebih dari 350 ha tutupan hutan di sepanjang 13 kilometer (km) daerah sungai.
PLTA tersebut juga dituding menyebabkan gangguan fluktuasi debit sungai, sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian dan pembangunan bendungan, hingga berpotensi menyebabkan polusi di sungai jika limbah galian mengandung unsur beracun.
“Video luapan Sungai Batang Toru di Jembatan Trikora menunjukkan gelondongan kayu dalam jumlah besar. WALHI Sumut mensinyalir kayu-kayu tersebut berasal dari area pembangunan infrastruktur PLTA,” kata Rianda.
Di sisi lain, pembukaan hutan melalui skema pemanfaatan kayu tumbuh alami (PHAT) dituding menjadi salah satu pemicu banjir bandang.
Rianda mencatat kawasan koridor satwa yang menghubungan Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Barat telah terdegradasi 1.500 ha dalam 3 tahun terakhir.
“Semua aktivitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang.”
(azr/wdh)






























