Apa yang membuat pemerintah dan BI seakan berlomba-lomba ‘mengeruk’ dana dari pasar?
Defisit APBN 'Bengkak'
Dari sisi pemerintah, sepertinya pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 memang menantang. Sebagaimana diketahui, APBN 2025 disusun oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan dijalankan sepenuhnya oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Setidaknya ada dua poin yang membuat pelaksanaan di dua pemerintahan yang berbeda tersebut menjadi kritikal. Pertama adalah tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dalam penyusunan APBN 2025, pemerintahan Jokowi sudah memasukkan variabel kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%. Ini sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Namun kenyataan berkata lain. Presiden Prabowo kemudian membatalkan kenaikan tarif PPN. Dari sini, ada potensi kehilangan (potential loss) penerimaan pajak sekitar Rp 70 triliun.
Sepanjang Januari-Oktober, penerimaan pajak di APBN 2025 tercatat Rp 1.459 triliun. Turun 3,85% atau Rp 58,5 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Kedua adalah kehadiran Danantara, yang tidak ada di masa pemerintahan Jokowi. Semenjak kehadiran Danantara, dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak lagi masuk ke kas negara. Dari sini, APBN ditaksir kehilangan pendapatan mencapai sekitar Rp 71 triliun.
Hingga Oktober, penerimaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND) adalah Rp 11,8 triliun. Anjlok 85,1% dari 10 bulan pertama 2024.
Total penerimaan negara per 31 Oktober tercatat Rp 2.113,3 triliun. Turun Rp 134,3 triliun (5,98%) dari periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, belanja negara bertambah. Pemekaran jumlah kementerian/lembaga, program-program unggulan Presiden Prabowo, dan pemberian berbagai stimulus fiskal membuat pengeluaran membengkak.
Per akhir Oktober, total belanja negara berjumlah Rp 2.593 triliun. Naik Rp 36,3 triliun (1,42%) dibandingkan Januari-Oktober 2024.
Perkembangan ini membuat APBN 2025 mencatat defisit Rp 479,7 triliun atau setara 2,02% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada Januari-Oktober tahun lalu, defisit anggaran ‘hanya’ Rp 309,1 triliun (1,4% PDB).
“APBN 2025 akan menghadapi kekurangan pendapatan senilai Rp 150-160 triliun. Apabila hal ini tidak diatasi melalui pengurangan belanja atau mencari penghasilan dari pos lain, maka defisit fiskal tahun ini berisiko naik menjadi 3,16-3,19% PDB,” sebut riset Mega Capital Sekuritas beberapa waktu lalu.
Untuk menutup kekurangan penerimaan negara, mau tidak mau pemerintah harus mencari dari pasar. Caranya adalah dengan menjual surat utang alias SUN, meski dengan bunga tinggi.
BI Juga ‘Butuh Uang’
Ternyata bukan hanya pemerintah yang ‘butuh uang’ alias BU. BI pun ternyata juga BU, meski dengan alasan yang berbeda.
Tugas utama BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, BI harus menjaga agar arus modal (terutama asing) terus masuk ke pasar keuangan Indonesia.
Sayangnya, yang terjadi adalah arus modal asing sedang meninggalkan Tanah Air pada tahun ini. Per 27 November, BI mencatat investor asing melakukan jual bersih (net sell) di pasar keuangan Indonesia.
Rinciannya, terjadi net sell Rp 26,41 triliun di pasar saham, Rp 3,3 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp 146,26 triliun di pasar SRBI.
Akibatnya, rupiah pun melemah. Sepanjang tahun ini (year-to-date), rupiah mencatat pelemahan lebih dari 3% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah pun menjadi salah satu mata uang terlemah di Benua Kuning.
Agar rupiah bisa lebih stabil, dibutuhkan ‘darah’ segar berupa arus modal asing. Untuk itu, BI pun memutuskan untuk menambah frekuensi lelang SRBI menjadi dua kali dalam sepekan mulai 26 November.
“Dari perspektif kami, langkah menambah frekuensi lelang SRBI lebih tepat dibaca sebagai strategi menarik kembali minat investor asing.Tekanan jual asing inilah yang turut memperlemah rupiah, menjadikannya salah satu mata uang berkinerja terlemah di emerging markets,” jelas riset Mandiri Sekuritas,
Langkah tersebut sejauh ini efektif. Arus modal asing yang masuk ke pasar SRBI pekan lalu mencapai Rp 10,27 triliun. Ini menjadi arus masuk mingguan terbesar sepanjang 2025.
Seiring arus modal asing tersebut, nilai tukar rupiah pun lebih stabil. Sepanjang pekan lalu, rupiah membukukan penguatan 0,25%.
“Langkah BI menaikkan frekuensi lelang SRBI, disertai normalisasi suku bunganya, menunjukkan bahwa fokus kebijakan adalah menjaga stabilitas nilai tukar. Ini sejalan dengan keputusan BI mempertahankan BI Rate di 4,75% selama tiga bulan berturut-turut.
“Dalam pandangan kami, kemampuan BI menahan pelemahan dan meredam volatilitas jangka pendek rupiah akan menjadi faktor penentu dalam memulihkan kepercayaan investor asing dan membuka kembali ruang bagi arus masuk ke pasar obligasi Indonesia,” tambah riset Mandiri Sekuritas.
(red)





























