Sebelumnya, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) bakal meneliti kondisi hutan di sejumlah wilayah Sumatra. Langkah ini diambil usai banjir besar dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara hingga Sumatra Barat.
Ketua Pelaksana Satgas PKH sekaligus Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah mengatakan langkah itu diambil setelah penanganan bencana selesai.
"Satgas PKH akan meneliti kondisi hutan di sana, setelah kondisi kesulitan masyarakat bisa diatasi dulu," kata Febrie kepada awak media, Senin (1/12/2025).
Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna mengatakan Satgas PKH membuka peluang untuk mendalami dugaan pembalakan liar atau illegal logging yang disebut menjadi pemicu bencana tersebut.
Anang mengatakan Satgas PKH akan melakukan pendalaman untuk mengidentifikasi apakah banjir dan longsor di tiga provinsi tersebut terjadi karena adanya unsur kesengajaan seperti pembalakan liar.
"Ketika ada unsur kesengajaan, pastinya penegak hukum ke depan akan mengambil tindakan hukum," ujar Anang kepada awak media, Senin (1/12/2025).
Sepanjang 2025, Kementrian Kehutanan telah menangani sejumlah perkara pembalakan liar dengan modus pencucian kayu melalui Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di berbagai wilayah Sumatra.
Di Aceh Tengah, penyidik mengungkap penebangan pohon secara tidak sah di luar areal PHAT dan kawasan hutan oleh pemilik PHAT dengan barang bukti sekitar 86,60 m³ kayu ilegal pada Juni 2025.
Di Solok, Sumatera Barat, ditangkap kegiatan penebangan pohon di kawasan hutan di luar PHAT yang diangkut menggunakan dokumen PHAT dengan barang bukti 152 batang kayu per log, dua unit ekskavator, dan satu unit bulldozer pada Agustus 2025.
Sementara di Sipirok, Tapanuli Selatan, diamankan empat unit truk bermuatan kayu bulat sebanyak 44,25 m³ dengan dokumen kayu yang bersumber dari PHAT yang telah dibekukan. Belakangan berkembang berbagai tafsir di ruang publik terkait kayu-kayu yang terbawa banjir di Sumatera.
Kementerian Kehutanan menegaskan bahwa kayu yang terseret banjir dapat berasal dari beragam sumber mulai dari pohon lapuk, pohon tumbang, material bawaan sungai, area bekas penebangan legal, hingga aktivitas yang melanggar hukum termasuk penyalahgunaan PHAT dan illegal logging.
Fokus Kementerian Kehutanan menelusuri secara profesional setiap indikasi pelanggaran dan memproses bukti kejahatan kehutanan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho menjelaskan pengungkapan modus pencucian kayu lewat PHAT dan kebijakan moratorium tata usaha kayu di areal penggunaan lain (APL) merupakan langkah negara untuk menutup celah kejahatan kehutanan terorganisir.
“Kejahatan kehutanan tidak lagi bekerja secara sederhana. Kayu dari kawasan hutan bisa diseret masuk ke skema legal dengan memanfaatkan dokumen PHAT yang dipalsukan, digandakan, atau dipinjam namanya,” kata dia.
(dov/frg)































