Hal itu memetakan lebih dari 32.000 keterampilan di 923 pekerjaan di 3.000 negara, kemudian mengukur di mana sistem AI saat ini telah bisa melakukan keterampilan tersebut. Apa yang ditemukan para peneliti adalah puncak gunung es yang terlihat yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pergeseran peran di bidang teknologi, komputasi, dan teknologi informasi, hanya mewakili 2,2% dari total paparan upah atau sekitar US$211 miliar (setara dengan Rp3.507 triliun).
Di balik itu semua ada total paparan, gaji sebesar US$1,2 triliun, dan itu mencakup fungsi rutin di bidang sumber daya manusia (SDM), logistik, keuangan, dan administrasi perkantoran. Semua itu adalah area yang terkadang diabaikan dalam prakiraan otomasi.
Para peneliti mengatakan indeks tersebut bukanlah mesin prediksi mengenai kapan atau di mana tepatnya pekerjaan bakal hilang. Sebaliknya, hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang berpusat pada keterampilan tentang apa yang sudah bisa dilakukan oleh sistem AI saat ini, dan memberi pembuat kebijakan cara terstruktur untuk mengeksplorasi skenario bagaimana jika sebelum mereka mengeluarkan dana dan legislasi yang sebenarnya.
Para peneliti ini bermitra dengan pemerintah negara bagian AS untuk menjalankan simulasi proaktif. Misalnya Tennessee, Carolina Utara, dan Utah membantu memvalidasi model tersebut menggunakan data ketenagakerjaan mereka sendiri dan sudah mulai membuat skenario kebijakan memakai platform tersebut.
Negara bagian AS, Tennessee bergerak lebih awal, mengutip Iceberg Index dalam Rencana Aksi Tenaga Kerja AI resminya yang dirilis bulan ini. Sementara, para pemimpin negara bagian AS lainnya, Utah, tengah bersiap untuk merilis laporan serupa berdasarkan model iceberg.
Senator Negara Bagian AS, Carolina Utara, DeAndrea Salvador, yang telah bekerja sama dengan MIT dalam proyek ini, mengatakan apa yang membuatnya tertarik pada penelitian ini adalah bagaimana penelitian ini memunculkan efek yang tak dimiliki alat-alat tradisional. Dia menambahkan bahwa salah satu fitur yang paling berguna yakni kemampuan menelusuri detil lokal.
“Salah satu hal yang dapat Anda lihat adalah data spesifik daerah yang pada dasarnya menyatakan, dalam blok sensus tertentu, berikut adalah keterampilan yang saat ini ada dan kemudian mencocokkan keterampilan tersebut dengan kemungkinan untuk diotomatisasi atau ditingkatkan, dan apa artinya dalam kaitannya dengan pergeseran produk domestik bruto (PDB) negara bagian di wilayah tersebut, dan juga dalam lapangan kerja,” kata Salvador.
Dia menyebut pekerjaan simulasi semacam itu sangat berharga saat negara-negara membentuk satuan tugas dan kelompok kerja AI yang tumpang tindih. Iceberg Index pun menantang asumsi umum mengenai risiko AI, yaitu bahwa risiko AI akan tetap terbatas pada peran teknologi di pusat-pusat pesisir.
Simulasi indeks menunjukkan pekerjaan yang terpapar tersebar di seluruh 50 negara bagian, termasuk wilayah pedalaman dan pedesaan yang kerap tak dimasukkan dalam pembahasan AI. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, tim Iceberg sudah membangun lingkungan simulasi interaktif yang memungkinkan negara-negara bagian untuk bereksperimen dengan pelbagai kebijakan, mulai dari mengalihkan anggaran tenaga kerja dan menyesuaikan program pelatihan sampai mengeksplorasi bagaimana perubahan dalam adopsi teknologi dapat mempengaruhi lapangan kerja lokal dan PDB.
“Proyek Iceberg memungkinkan pembuat kebijakan dan pemimpin bisnis untuk mengidentifikasi titik-titik paparan, memprioritaskan pelatihan dan investasi infrastruktur, serta menguji intervensi sebelum mengeluarkan miliaran dolar untuk implementasinya,” tulis laporan tersebut.
Apakah hasil penelitian ini berlaku untuk Indonesia? Belum ada kajian serupa sejauh ini, namun pimpinan Hewlet Packard Indonesia, Juliana Cen, sempat menyatakan bahwa 94% knowledge worker di Indonesia telah menggunakan AI generatif mengutip Work Relationship Index 2025.
(wep)

































