Ketegangan dengan AS sedikit mereda setelah gencatan sementara bulan lalu melalui pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping di Korea Selatan. Namun detail utama kesepakatan, termasuk isu pengiriman mineral tanah jarang dari China, masih dibahas, menandakan rapuhnya perjanjian tersebut.
Sengketa diplomatik dengan Jepang dalam beberapa pekan terakhir ikut menambah ketidakpastian perdagangan ketika China mempertimbangkan langkah balasan ekonomi.
Di luar risiko geopolitik, lemahnya permintaan domestik masih membayangi prospek pabrik China. Pertumbuhan penjualan ritel melambat untuk bulan kelima berturut-turut pada Oktober, periode pelemahan terpanjang sejak penutupan toko akibat pandemi Covid lebih dari empat tahun lalu.
Pelemahan ekonomi belakangan ini tidak serta-merta mendorong stimulus tambahan. Pembuat kebijakan China tidak terburu-buru menambah dukungan karena target pertumbuhan tahunan sekitar 5% diperkirakan masih dapat tercapai.
China telah menggelontorkan stimulus tambahan senilai 1 triliun yuan (Rp2.353 triliun dengan asumsi 1CNY sama dengan Rp2.353) sejak akhir September, termasuk kuota obligasi yang belum terpakai bagi provinsi untuk memperluas investasi dan membayar tunggakan kepada perusahaan, serta pendanaan baru bagi bank kebijakan untuk mendorong investasi.
Melihat lima tahun ke depan, Beijing menegaskan bakal mempertahankan teknologi dan manufaktur sebagai prioritas utama, meskipun berkomitmen “secara signifikan” meningkatkan porsi konsumsi dalam ekonominya. Ekspor bersih menyumbang hampir sepertiga pertumbuhan China tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi China melemah pada kuartal lalu ke laju paling lambat dalam setahun. Analis memproyeksikan perlambatan lebih lanjut, dengan perkiraan kinerja kuartal ini menjadi yang terlemah sejak akhir 2022, ketika negara itu berada di penghujung kebijakan lockdown Covid Zero.
(bbn)































