Logo Bloomberg Technoz

Selama empat tahun terakhir, investasi pusat data bernilai US$34 miliar telah mengalir ke negara ini — Alphabet Inc.’s Google berkomitmen US$2 miliar, Microsoft Corp. mengumumkan investasi US$2,2 miliar, dan Amazon.com Inc. menghabiskan US$6,2 miliar, untuk beberapa contoh. Pemerintah menargetkan 81 pusat data hingga 2035.

Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh dampak dari Singapura, di mana moratorium bertahun-tahun terhadap pusat data baru memaksa operator untuk mencari lokasi di utara. Johor, tepat terletak di seberang jembatan, kini menjadi pusat aktivitas konstruksi dan pusat server — termasuk untuk perusahaan seperti Singapore Telecommunications Ltd., Nvidia Corp., dan ByteDance Ltd. Namun, memenuhi janji pemerintah tentang pasokan energi terbarukan ternyata lebih sulit. 

Tekanan sudah terasa di ibu kota pusat data Malaysia. Sedenak Tech Park, salah satu lokasi andalan di Johor, memberitahu calon penyewa bahwa mereka harus menunggu hingga kuartal keempat 2026 untuk sambungan air dan listrik yang dijanjikan dalam perluasan fase kedua, menurut DC Byte. Tingkat kekosongan di fasilitas aktif Johor hanya 1,1%, menurut konsultan properti Knight Frank. Meskipun pertumbuhannya cepat, pasar ini jauh dari jenuh, dengan kapasitas enam gigawatt diperkirakan akan dibangun dalam beberapa tahun ke depan. 

Potensi bottleneck tersebut telah mendorong perusahaan kelapa sawit besar seperti SD Guthrie Bhd. untuk mempromosikan diri mereka sebagai pemilik lahan dan penyedia energi hijau.

“Di sinilah kami dapat memainkan peran yang krusial dan signifikan dalam ekosistem ini,” kata Mohamad Helmy Othman Basha, direktur utama grup produsen minyak sawit dengan valuasi US$8,9 miliar, SD Guthrie. SD Guthrie merupakan perusahaan minyak sawit terbesar di dunia berdasarkan luas lahan, dengan lebih dari 340.000 hektar lahan di bawah kendalinya di Malaysia.

SD Guthrie beralih ke pembangkit listrik tenaga surya dan kawasan industri, bertaruh bahwa raksasa teknologi yang membutuhkan ruang server akan lebih memilih lokasi dengan akses mudah ke energi terbarukan. Perusahaan ini telah menyisihkan 10.000 hektar untuk proyek-proyek tersebut dalam dekade mendatang, dimulai dengan membersihkan perkebunan karet tua dan lahan kelapa sawit berproduksi rendah di daerah dekat pusat investasi pusat data dan semikonduktor.

Perhitungan perusahaan didasarkan pada: satu megawatt tenaga surya membutuhkan sekitar 1,5 hektar. Helmy mengatakan SD Guthrie ingin mengoperasikan satu gigawatt dalam tiga tahun ke depan, cukup untuk memasok listrik hingga 10 pusat data berskala besar yang digunakan untuk komputasi AI. Bisnis baru ini diperkirakan akan menyumbang sekitar sepertiga dari laba perusahaan pada akhir dekade ini.

“Setiap jengkal tanah kami ke depan akan menghasilkan pendapatan,” katanya dalam wawancara dengan Bloomberg News di negara bagian Selangor, Malaysia. 

Pesaing-pesaing pun mengikuti jejak tersebut. Kuala Lumpur Kepong Bhd. (KLK), perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar kedua di Malaysia, baru-baru ini meluncurkan KLK TechPark seluas 1.500 hektar, dengan BYD, raksasa mobil listrik China, sebagai penyewa utama. Sebuah kawasan industri kedua, hampir dua kali lipat ukurannya, direncanakan akan dibangun di Johor. Perusahaan tersebut mengonfirmasi telah menerima minat dari operator pusat data untuk mendirikan kompleks di kawasan tersebut, yang akan dipertimbangkan berdasarkan seberapa besar nilai yang dapat mereka ciptakan.

IOI Corporation Bhd., pemilik perkebunan kelapa sawit ‘raksasa’ lainnya, telah mengalokasikan lahan perkebunan di Johor untuk proyek tenaga surya, meskipun perusahaan tersebut mengatakan belum ada kesepakatan konkret. “Sebagai pemilik lahan yang relatif besar, kami berencana mendirikan pembangkit tenaga surya dengan kapasitas tertentu,” atau setidaknya 300 megawatt (MW), kata CEO IOI Lee Yeow Chor dalam briefing pada awal November. Tujuannya adalah menggunakan area di mana pohon kelapa sawit sudah tua atau memerlukan penanaman ulang. 

KLK mengendalikan sekitar 355.000 hektar, sebagian besar di Malaysia dan Indonesia. IOI memiliki hampir 200.000 hektar. Bersama dengan Guthrie, ketiganya mendominasi cadangan lahan di Malaysia.

Persebaran lahan sawit di Malaysia.

“Ini merupakan peluang unik bagi perkebunan kelapa sawit di Malaysia, mengingat luasnya lahan yang memungkinkan skalabilitas untuk pengembangan pusat data,” kata Vivian Wong, analis utama DC Byte.  

Hal ini pula dapat lebih menguntungkan bagi perusahaan kelapa sawit. Laporan Maybank tahun lalu memperkirakan keuntungan dari operasi solar skala besar dapat mencapai lebih dari 50 kali lipat dari keuntungan rata-rata dari budidaya kelapa sawit. Sudah ada beberapa kisah sukses kecil di industri ini, seperti Gopeng Bhd., sebuah perusahaan perkebunan kecil yang beralih dari kerugian menjadi memberikan pengembalian terbesar kepada pemegang saham utamanya dalam tiga tahun dengan terjun ke energi terbarukan.

Namun, bisnis baru ini bukannya tanpa risiko. Perusahaan sawit bisa berakhir dengan lahan luas pusat data yang tidak terpakai. “Risikonya adalah membangun kawasan industri di lokasi yang salah, karena pusat data sangat bergantung pada lokasi,” kata Fitzalan Howard, yang mencatat lahan besar membutuhkan hingga 50 hektar — sehingga kesalahan penentuan lokasi dapat merugikan.

Cuaca tropis menambah tantangan lain: pusat data memerlukan pendinginan yang signifikan, artinya fasilitas di Malaysia akan mengonsumsi sekitar 25% lebih banyak energi daripada yang ada di kota seperti London, kata Fitzalan Howard.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: Bisakah perusahaan yang selama puluhan tahun dianggap sebagai musuh iklim mengubah diri menjadi penyelamat energi hijau?

Pun bisa, peluangnya kecil, kata Ivy Ng, Kepala Riset dan Agribisnis Malaysia di CIMB Securities. Ya, hal itu mungkin mengurangi jejak karbon mereka dan meningkatkan profil lingkungan, sosial, dan tata kelola mereka, tetapi minyak sawit tetap menjadi inti bisnis mereka, katanya.  

Lahan sawit milik SD Guthrie di Selangor, Malaysia. Samsul Said/Bloomberg

Dulu tanaman ini jamak di era kolonial, namun kini minyak sawit menjadi komoditas konsumen global yang terdapat dalam hampir setengah dari semua produk supermarket. Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, perusahaan kelapa sawit beralih ke deforestasi, terutama di Malaysia dan Indonesia, di mana hutan hujan tropis yang luas telah ditebang untuk memberi ruang bagi perkebunan. Di bagian Malaysia dari Borneo, hingga 60% hutan hujan dihancurkan antara tahun 1973 dan 2015, menyebabkan hilangnya habitat dan emisi. Produsen kini menghadapi tekanan yang semakin besar untuk mengadopsi praktik berkelanjutan.

“Ini langkah yang tepat,” kata Ng mengenai upaya perusahaan kelapa sawit memasuki energi hijau. Namun, “langkah ini terlalu kecil untuk membuat perbedaan besar bagi prospek masa depan perusahaan secara keseluruhan.”

Kelompok lingkungan meragukan hal ini, menyebut proyek tenaga surya sebagai upaya untuk mengomersialkan perkebunan tua daripada mereformasi praktik inti.

“Meskipun inisiatif ini mungkin membantu meningkatkan peringkat ESG suatu perusahaan secara teoritis, kredibilitas dan keberlanjutan yang sesungguhnya bergantung pada penanganan masalah inti dalam operasi kelapa sawit mereka — seperti deforestasi, degradasi lahan gambut, hak pekerja, dan transparansi rantai pasok,” kata Greenpeace Malaysia.

“Menambahkan proyek-proyek ‘hijau’ secara sekunder saja tidak cukup, karena investor dan pasar semakin selektif dan dapat membedakan upaya transisi yang sejati dari greenwashing.”

Adapun Helmy dari SD Guthrie, yang akan mundur dari jabatannya pada akhir tahun ini, ia tetap optimis bahwa proyek baru ini akan mengubah persepsi tentang minyak sawit, yang telah menjadi sasaran boikot di Barat. “Minyak sawit telah difitnah selama bertahun-tahun,” kata Helmy. “Kini, minyak sawit dapat berperan dalam energi terbarukan.”

(bbn)

No more pages