Biaya Iklim
Krisis yang terjadi saat ini bukan cuma berisiko pada lingkungan tapi juga ekonomi, bahkan sifatnya lebih sistemik.
Risiko ekonomi membayangi negara berkembang lantaran beban fiskal akibat bencana kerusakan iklim. Data dari Postdam Institute memperkirakan kerugian ekonomi tahunan secara global akibat bencana mencapai US$38 triliun pada tahun 2050.
Sementara, data dari the International Chamber of Commerce (ICC) menunjukkan selama 10 tahun terakhir kerugian ekonomi Amerika Serikat (AS) melonjak menjadi US$935 miliar, disusul China sebesar US$268 miliar, dan India US$112 miliar.
Jika melansir Bloomberg Intelligence, total kerugian akibat bencana krisis iklim di Asia jauh lebih besar, angkanya mencapai US$ 2,13 triliun
Belum ada angka pasti, berapa kerugian di negara berkembang, khususnya Indonesia. Mengutip data dari dokumen Indonesia’s Green Climate Fund Program (GCF) yang dirilis Kementerian Keuangan pada 2021, menyebut potensi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim mencapai sekitar US$38,92 miliar secara kumulatif antara 2020-2024. Dampak ini umumnya menimpa empat sektor prioritas yaitu kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan.
Selain kerugian, pemerintah juga harus mengalokasikan anggaran untuk penanganan krisis iklim yang terdiri dari pencegahan dan penanganan bencana, subsidi asuransi pertanian, serta program bantuan pemulihan. Menurut Bloomberg Intelligence, jika ditotal secara global pengeluaran negara-negara mencapai US$4,9 triliun untuk menangani krisis ini.
“China berada di posisi tertinggi US$2,1 triliun, AS US$1,38 triliun, dan India US$ 480 miliar,” tulis laporan tersebut.
Sementara di Indonesia, anggaran penanganan krisis biasanya dialokasikan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sayangnya, di tengah krisis iklim ini dan ketatnya fiskal, anggaran tersebut jadi menyusut cukup signifikan.
Pada 2023 anggaran program ketahanan bencana BNPB mencapai Rp5,181 triliun, lalu berkurang menjadi Rp4,865 triliun pada tahun 2024. Puncaknya, tahun 2025 anggaran BNPB menyusut lagi dari alokasi awal Rp1,427 triliun menjadi Rp956,67 miliar.
Pembiayaan
Di luar biaya yang dibayar untuk penanggulangan, negara seharusnya fokus pada pembiayaan mitigasi. Berdasarkan riset Bank Dunia, meski terlihat mahal di awal, biaya mitigasi bencana relatif lebih rendah empat sampai kali kali dibanding biaya kerusakan akibat bencana.
Dalam dokumen GFC Indonesia, Kementerian Keuangan memperkirakan Indonesia setidaknya butuh US$285,6 miliar atau setara Rp4.766 triliun untuk membiayai agenda iklimnya. Sementara anggaran pemerintah di tengah sempitnya ruang fiskal, hanya mampu mengongkosi sekitar 34% dari kebutuhan tersebut.
Sayangnya, saat kebutuhan pendanaan membengkak, pembiayaan hijau (green financing) belum bergerak lebih jauh. Mayoritas ongkos transisi hijau di Indonesia masih mengandalkan pembiayaan publik yang berasal dari pemerintah.
Padahal, kondisi fiskal cenderung ketat. Tak heran jika pemerintah beberapa kali menerbitkan obligasi hijau, dengan total emisi Rp185,81 triliun.
Menurut studi Climate Finance Landscape yang rilis pada 2024, Indonesia telah menggelontorkan dana sebanyak US$18,06 juta untuk target 2030, dan mengamankan US$26,78 juta pembiayaan dari dukungan internasional.
Biaya agenda iklim seperti penguatan ketahanan pangan, konservasi hutan, hingga perlindungan pesisir, masih dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah, lantaran belum jelasnya aliran pendapatan dalam proyek tersebut.
Lembaga keuangan melihat investasi hijau masih sebagai portofolio berisiko tinggi dengan tenor atau durasi pembiayaan yang panjang. Saat ini, pembiayaan swasta untuk proyek adaptasi iklim masih terbatas pada sektor energi, seperti pembangkit listrik tenaga air, atau panas bumi.
|
Sektor Vital |
Prioritas Pembiayaan |
|
Energi terbarukan |
|
|
Transportasi |
Transportasi publik perkotaan |
|
Forestry & Land Use |
|
Pemerintah setidaknya perlu memberikan kepastian regulasi, dan menjaga volatilitas harga energi. Sebab, risiko bencana alam membuat investor berhitung lebih panjang untuk masuk ke sektor ini. Di sisi lain, insentif pemerintah, baik fiskal maupun non-fiskal, perlu ditawarkan untuk menutup risiko tersebut.
(riset/aji)
































