Satu-satunya negara yang diketahui telah menguji desain bom nuklir pada abad ini adalah Korea Utara, yang terakhir kali meledakkan perangkat nuklir pada 2017.
Pada 2019, AS menarik diri dari perjanjian perlucutan senjata era Perang Dingin dengan Rusia, dengan alasan Moskow telah melanggarnya lewat produksi rudal terlarang. Trump juga menilai perjanjian itu cacat karena tidak memasukkan China, kekuatan nuklir yang sedang tumbuh.
Meski China memiliki jumlah hulu ledak nuklir yang lebih kecil dibanding AS dan Rusia, persenjataannya diperkirakan meningkat dan dimodernisasi dengan cepat menurut penilaian pemerintah AS. China terakhir kali menguji bom nuklir pada 1996, namun masih terus menguji rudal berkapabilitas nuklir, termasuk ICBM tahun lalu, serta hulu ledak hipersonik yang memanfaatkan kecepatan tinggi dan manuver untuk menghindari intersepsi.
Dalam white paper tersebut, Beijing kembali menegaskan bahwa mereka mengikuti pendekatan yang “sangat terkendali” dalam pengembangan senjata nuklir, dan tidak akan terlibat dalam perlombaan senjata nuklir. Badan tertinggi Partai Komunis China pada Oktober lalu menyatakan berencana “memperluas kemampuan deterrensi strategis”—istilah militer yang mencakup kekuatan nuklir—dalam lima tahun ke depan.
Dokumen itu juga mengkritik “beberapa negara” yang mendorong sistem pertahanan rudal, seperti Golden Dome yang diusulkan Trump. Sistem tersebut disebut bertujuan melindungi wilayah AS tidak hanya dari serangan terbatas negara-negara kecil, tetapi juga dari serangan berskala besar oleh Rusia maupun China. Para pengkritik menyebut Golden Dome hampir mustahil diwujudkan secara teknis.
Washington dan Seoul juga tengah melakukan negosiasi tertutup untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir secara bersama untuk kedua angkatan laut, menurut laporan Bloomberg News. Kepala Operasi Angkatan Laut AS, Laksamana Daryl Caudle, mengatakan kapal selam tersebut bisa membantu menghadapi pertumbuhan pesat armada China.
(bbn)































