Dalam proses itu, terjadi pengaturan penggunaan vendor agar pengeluaran terlihat wajar, yakni atas nama PT Adipati Wijaya dengan menggunakan nama Eris Pristiawan dan Fachrul Rozi selaku office boy, untuk dibuatkan dokumen purchase order beserta tagihan fiktifnya dan validasi atas dokumen pembayaran tersebut.
Setelah dana dibayarkan kepada masing-masing vendor fiktif, Didik dan Herry menerima dana pencairan melalui stafnya dalam bentuk valuta asing.
Selain itu, terdapat vendor fiktif lainnya pada beberapa proyek pekerjaan lain atas nama Karyadi selaku sopir; Apriyandi selaku office boy; dan Kurniawan selaku staf keuangan divisi EPC PT PP dengan nilai proyek Rp10,8 miliar.
Perbuatan melawan hukum dengan modus penggunaan vendor fiktif ini kembali dilakukan Didik dan Herry secara berulang kali. Dalam kurun Juni 2022 sampai dengan Maret 2023, terdapat sembilan proyek fiktif dengan total mencapai Rp46,8 miliar yang dikerjakan oleh divisi EPC PT PP. Perinciannya, pembangunan pabrik peleburan atau smelter nikel di Kolaka senilai Rp25,3 miliar; pembangunan Mines of Bahodopi Block 2 & 3 di Morowali senilai Rp10,8 miliar; pembangunan Sulut-1 Coal Fired Steam Power Plant di Manado senilai Rp4 miliar; PSPP Portsite di Timika Papua senilai Rp1,6 miliar.
Selanjutnya, Mobile Power Plant (MPP) Paket 7 di Nabire, Ternate, Bontang, dan Labuan Bajo senilai Rp607 juta; Mobile Power Plant (MPP) Paket 8 di Jayapura & Kendari senilai Rp986 juta; Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Bangkanai di Kalimantan Tengah senilai Rp2 miliar; Manyar Power Line di Gresik, Jawa Timur senilai Rp1 miliar; dan divisi EPC senilai Rp504 juta.
Dari nilai proyek Mines of Bahodopi Block 2 & 3, Didik berinisiatif mengalirkan uang tersebut untuk tambahan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) dan Tunjangan Variabel (TVAR) kepada Kurniawan sebesar Rp7,5 miliar dan Apriyandi senilai Rp3,3 miliar.
Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara setidaknya senilai Rp 46,8 Miliar, akibat adanya pengeluaran dari kas perusahaan untuk pembayaran vendor fiktif yang tidak menghasilkan manfaat apapun bagi perusahaan.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
(dov/frg)

































