RDG BI biasanya membahas terkait kondisi makroekonomi dan moneter, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ini termasuk keputusan bank sentral dalam menetapkan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate.
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 32 analis/ekonom hingga Selasa (18/11/2025) pagi, median proyeksi BI Rate ada di 4,75%. Artinya kemungkinan BI Rate akan ditahan, tidak ke mana-mana.
Salah satu yang memperkirakan BI akan mengambil posisi hold adalah Tamara Mast Henderson dari Bloomberg Intelligence. Menurutnya, BI masih akan mengambil waktu untuk melihat bagaimana transmisi pelonggaran moneter yang sudah dilakukan.
Sebagai informasi, BI Rate sudah turun 125 basis poin (bps) sepanjang tahun ini. Suku bunga acuan menyentuh titik terendah sejak 2022.
“Suku bunga simpanan di perbankan hanya sedikit berubah sejak RDG Oktober, di mana kala itu BI menyuarakan soal transmisi kebijakan moneter. Langkah BI mempertahankan suku bunga acuan bulan lalu juga meredakan kecemasan pasar perihal independensi bank sentral,” sebut Henderson dalam risetnya.
BI, tambah Henderson, juga harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sejak RDG Oktober, rupiah melemah 0,9% terhadap dolar Amerika Serikat (AS), menjadi yang terlemah di level Asia Tenggara.
Untuk menjaga stabilitas rupiah, maka arus modal keluar (capital outflow) perlu diredam. Di pasar obligasi, investor asing masih dalam posisi menjual Surat Berharga Negara (SBN).
Per 14 November, nilai kepemilikan asing di SBN tercatat Rp 807,07 triliun. Turun dibandingkan posisi awal bulan ini yang sebesar Rp 878,21 triliun.
“Perbedaan imbal hasil (yield) dengan obligasi pemerintah AS relatif rendah, sehingga butuh intervensi untuk membuat rupiah tetap stabil. Ini yang kemudian membuat cadangan devisa menurun, meski tetap di level yang memadai,” tutur Henderson.
(red)




























