Logo Bloomberg Technoz

Anekdot tersebut mencerminkan betapa cepatnya pasar barang mewah China senilai US$49 miliar berubah. Ketika ekonomi melambat, belanja untuk merek premium asing terhenti. Sebaliknya, ketika konsumen China membelanjakan uang mereka, mereka justru beralih ke label dalam negeri. Kebangkitan mereka tengah mengubah peta salah satu pasar barang mewah terbesar di dunia dan memaksa pemain global untuk memperhatikan.

Platform ritel daring menjadi kunci pertumbuhan mereka. Menurut data yang dikumpulkan BigOne Lab dan dianalisis Bloomberg News, lima merek prestise domestik di kategori tas, pakaian, parfum, kosmetik, dan perhiasan melampaui tujuh pesaing asing dalam pertumbuhan penjualan selama dua tahun terakhir.

Penjualan e-commerce Laopu Gold melonjak lebih dari 1.000% selama tiga kuartal pertama tahun ini dibandingkan dua tahun lalu, sementara penjualan tas Songmont secara daring tumbuh sekitar 90%. Sebaliknya, penjualan tas daring Gucci di China merosot lebih dari 50% dan milik Michael Kors turun sekitar 40%. Label Tiongkok lainnya—merek rias Mao Geping Cosmetics, rumah parfum To Summer, dan label pakaian mewah ICICLE—juga mencatat pencapaian serupa di kategori mereka.

Kemewahan China juara dalam pertumbuhan online (Bloomberg)

Di Tmall, platform ritel daring terbesar di China, pendapatan beberapa merek lokal kini setara atau bahkan melampaui merek luar negeri. Laopu mencatat penjualan US$630 juta di tokonya selama 12 bulan hingga Oktober, dibandingkan US$57 juta untuk Van Cleef & Arpels, menurut konsultan industri Hangzhou Zhiyi Tech. Pendapatan Mao Geping mencapai US$125 juta, lebih dari dua kali lipat penjualan Bobbi Brown.

Bagi Laopu Gold, penjualan daring dan luring melonjak 250% pada paruh pertama tahun ini, setelah meningkat dua kali lipat pada 2023 dan 2024, berdasarkan laporan keuangannya. Mao Geping Cosmetics, label kecantikan lokal yang dinamai sesuai pendirinya yang terkenal, juga melaporkan pertumbuhan pendapatan dua digit sepanjang tahun ini maupun di tahun 2024.

Sementara itu, Bain & Co. memperkirakan pasar barang mewah China—yang didominasi raksasa Eropa seperti LVMH Moet Hennessy Louis Vuitton, Kering SA, dan Burberry Group Plc—menyusut hingga 20% tahun lalu, penurunan terdalam sejak setidaknya 2011. Meskipun mulai terlihat tanda-tanda pemulihan, para eksekutif berbicara mengenai “kehati-hatian” dan “ketidakpastian.”

Melemahnya ekonomi China telah menggerus minat terhadap merek-merek mewah global. Permintaan yang diperkirakan kembali setelah dicabutnya pembatasan ketat Covid justru anjlok bagi perusahaan asing. Kekecewaan itu turut menghapus nilai saham para pemain besar; saham LVMH turun sekitar 30% dari puncaknya pada 2023, sementara Kering merosot sekitar 60% dari level tertingginya pada 2021 di Paris. Di AS, saham Estee Lauder Companies Inc. anjlok sekitar 76% dari puncaknya pada 2021. Setelah melonjak pasca pelonggaran lockdown pada 2021, belanja konsumen di China kini cenderung datar.

Perwakilan LVMH, Kering, Chanel, Richemont, Estee Lauder, Max Mara, dan Capri tidak menanggapi permintaan komentar.

Kondisi ini mendorong konsumen beralih ke merek lokal dengan harga lebih terjangkau. Aircoat berbahan kasmir dan wol milik ICICLE dijual antara US$1.123 hingga US$2.808. Mantel Max Mara 101801, yang sering dibandingkan oleh konsumen Tiongkok, berharga lebih dari US$4.200. Tas model bucket Songmont—yang disebut pengguna media sosial sebagai dupe dari tas Picotin Lock milik Hermès—dijual sekitar US$421, sementara tas Hermès asli berharga antara US$5.054 hingga US$8.016.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di China. Pembeli di seluruh dunia menjadi lebih selektif, memilih label yang terlihat premium dengan harga lebih rendah, karena semakin jengah dengan merek terkenal yang terus menaikkan harga.

Namun yang lebih mengejutkan, harga bukan lagi faktor penentu utama, kata Jacques Roizen, managing director China consulting di Digital Luxury Group.

“Berlawanan dengan persepsi umum, merek kecantikan China tidak bersaing pada harga—mereka membangun dunia merek yang kaya dan mengutamakan storytelling,” ujar Roizen.

“Bagi merek kecantikan prestise Barat, kebangkitan pesaing lokal harus menjadi peringatan sekaligus alarm.”

Kisah itu berpijak pada keterampilan dan kebanggaan budaya, dan sangat selaras dengan konsumen muda China yang tidak lagi melihat logo Barat sebagai tiket menuju keanggunan. Kini, para pembeli modern mencari produk yang terasa lebih personal, dan banyak merek lokal menjadikan perubahan ini sebagai inti identitas mereka. Label-label seperti To Summer dan Songmont banyak terinspirasi sejarah, seni, dan kehidupan sehari-hari China. 

Filosofi Songmont menekankan “estetika Timur,” dengan desain tokonya mencerminkan kaligrafi China. To Summer meracik wewangian dari bahan tradisional seperti teh, osmanthus, dan kulit jeruk kering, serta menggunakan porselen buatan Jingdezhen, pusat keramik terpenting di Tiongkok. ICICLE terinspirasi dari ideal Konfusianisme tentang harmoni dan kesederhanaan.

Konsep itu dirancang dengan sengaja sejak awal oleh pendiri Songmont, Fu Song.

“Kami memosisikan diri sebagai merek China yang berakar pada budaya lokal,” ujarnya. “Dalam percakapan mode global, suara Tiongkok masih terlalu sedikit.”

Strategi itu bekerja sangat efektif di ranah daring, dengan pemasaran yang lebih selaras dengan konsumen lokal. Songmont meluncurkan podcast yang berfokus pada kehidupan perempuan urban, yang diminati karena merayakan harga diri dan nilai-nilai hidup yang beragam, bukan status sosial, kata Amber Zhang, mitra BigOne. Kampanye itu dinilai lebih menyentuh dibandingkan kampanye dari merek global.

Bagi pembeli seperti Wan Yihuan, pekerja keuangan berusia 30 tahun di Shanghai, pesan itu terasa personal. Pernah menjadi penggemar berat Hermès dan Tom Ford, kini ia membawa tas hobo Songmont seharga US$210 dan memakai makeup Mao Geping. “Saat muda, saya terjebak dalam konsumerisme,” katanya. “Sekarang saya hanya ingin membeli hal-hal yang benar-benar saya suka.”

Di antara para pemain baru China, Laopu Gold menonjol berkat pertumbuhan pendapatan lebih dari 100% di toko fisik sejak awal 2024, sementara Tiffany dan Bulgari justru mengalami penurunan dua digit, menurut data BigOne. Di mal eksklusif SKP Beijing, penjualan Laopu Gold naik lebih dari 200% pada paruh pertama tahun ini, menurut seseorang yang mengetahui angka tersebut namun menolak disebutkan namanya karena membahas hal pribadi.

Pada Oktober, perusahaan ini membuka toko di Plaza 66—“katedral” kaca barang mewah yang selama ini didominasi nama-nama Eropa—menjadikannya merek domestik pertama yang hadir di seluruh sepuluh mal kelas atas di China.

Mungkin terasa janggal mengaitkan label Made-in-China dengan kemewahan, mengingat negara tersebut dikenal sebagai pusat manufaktur berbiaya rendah yang mendorong ekonominya hingga menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia. Namun merek-merek premium lokal ini menantang persepsi tersebut melalui proses produksi yang lebih lambat, berkualitas tinggi, dan dikomunikasikan kepada konsumen lewat kampanye pemasaran yang terlokalisasi.

Pada 2013, ICICLE membeli pabrik garmen yang memproduksi untuk Max Mara di provinsi Jiangsu, China timur. Songmont menggunakan kulit sapi full-grain lapisan atas dan perangkat keras berlapis emas, dibuat oleh para pengrajin dengan pengalaman puluhan tahun dalam menjahit dan kerajinan tradisional dari kampung halaman sang pendiri. Laopu Gold menggabungkan bentuk-bentuk filigree yang rumit dan lapisan enamel ke dalam perhiasannya. Mao Geping—jawaban China untuk Bobbi Brown dari Amerika—mengajarkan teknik makeup pada model lokal kepada jutaan penggemarnya secara daring.

Palet eyeshadow Mao Geping. (Lam Yik/Bloomberg)

Popularitas mereka kini meluas ke luar China. Di London, Naomi Jiang, remaja 16 tahun, kini melihat lebih jauh dari label-label besar saat membeli tas tangan. Menganggap merek desainer seperti Hermès terlampau mahal, ia memilih Songmont karena desain dan nilainya. “Kami sekarang mendapatkan pilihan pakaian yang lebih beragam dan berkualitas lebih tinggi,” katanya.

“Merek-merek premium China kini memiliki bakat desain, kekuatan manufaktur, dan kecerdasan pemasaran,” kata Leng Yun, konsultan apparel yang berbasis di Shanghai.

“Mereka tidak lagi mengejar Barat. Mereka sedang menjadi seperti apa Barat dulu.”

Para eksekutif di merek-merek China—termasuk Songmont, To Summer, dan Mao Geping—mengatakan mereka ingin berekspansi secara global. Merek-merek ini belum mengungkapkan penjualan luar negeri mereka, tetapi para analis sepakat bahwa angkanya kemungkinan masih kecil.

“Merek Tiongkok harus melihat melampaui pasar domestik,” ujar Elvis Liu, pendiri sekaligus CEO To Summer.

“Mengapa merek global sering lebih unggul dalam bersaing dengan merek China? Karena mereka didukung oleh pasar global. Jika Anda hanya memiliki pasar Tiongkok, Anda seperti merek lokal dan hal ini menempatkan Anda pada posisi yang sangat tidak menguntungkan dalam persaingan.”

Toko Emas Laopu di Canton Road di kawasan Tsim Sha Tsui, Hong Kong, China. (Lam Yik/Bloomberg)

Tetap saja, berbagai hambatan membayangi. Hanya sedikit merek domestik yang berhasil melampaui pendapatan tahunan 10 miliar yuan (US$1,4 miliar), kata Michelle Cheng, analis ritel di Goldman Sachs Group Inc. “Pasar China sangat besar, jadi Anda bisa mencapai 1 miliar yuan dengan produk yang sedang populer, atau bahkan 3 hingga 5 miliar,” ujarnya.

“Namun pertumbuhan lebih lanjut bergantung pada tim manajemen yang kuat, staf berbakat, dan visi jangka panjang.”

Angka pertumbuhan penjualan yang tinggi juga berasal dari basis yang rendah: sepuluh merek terlaris di segmen barang mewah pribadi China semuanya merupakan merek Barat, yang menyumbang 63% atau sekitar US$31 miliar penjualan tahun lalu, menurut data Euromonitor International. Sebaliknya, tidak ada satu pun merek China yang memiliki pangsa pasar lebih dari 0,5%, menurut data tersebut.

Risiko yang lebih besar mungkin bersifat psikologis, dengan kondisi ekonomi yang melemah—yang membuat penjualan merek Eropa merosot—berpotensi menular ke merek domestik, kata Cheng. “Untuk benar-benar tumbuh, industri barang mewah membutuhkan kenaikan upah dan berkembangnya kelas menengah, dua hal yang kini terhambat oleh tekanan ekonomi,” ujarnya.

Ambil contoh Guo Wenjun, yang dulu pernah menghabiskan lebih dari US$70.000 dalam satu kali belanja—Rolex, Chanel, bahkan jaket Armani ukuran balita. Kini, wanita berusia 37 tahun itu memiliki anak yang bersekolah di sekolah internasional mahal dan merasa ketidakpastian pekerjaan semakin meningkat. Ia kini beralih membeli tas tote seharga US$7 dan kaus seharga US$4 dari situs belanja hemat 1688.com.

“Barang mewah dulu membuat saya merasa seperti ratu,” katanya. “Sekarang, itu tidak lagi memiliki keajaiban itu.”

– Daniela Wei, Shirley Zhao, Lulu Shen

(bbn)

No more pages