“Nah, kalau dalam hal ini dengan Toyota kita memang lihat di beberapa ajang pameran mobil, itu kan bahkan sudah sampai waktu itu E100 kan, pakai flexi fuel kendaraannya itu,” ujar dia saat ditemui di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) awal pekan ini.
Untuk itu, Simon menegaskan rencana pembentukan perusahaan patungan atau joint venture (JV) dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, regulasi, serta kajian yang mendalam.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Presiden Direktur TMMIN Bob Azam tidak banyak berkomentar terkait dengan rencana investasi perseroan di bidang bioetanol.
“Saya rasa lebih baik ditanyakan kepada PNRE; Pertamina Renewable Energy. PNRE yang lebih kompeten untuk menjawab,” tutur Bob saat dihubungi.
Adapun, Toyota Motor Corp. berencana mengguyur investasi mandatori E10 dengan kapasitas produksi sebesar 60.000 kiloliter (kl) per tahun dan nilai investasi sekitar Rp2,5 triliun.
Pengembangan ekosistem bioetanol di Indonesia, sejalan dengan rencana pemerintah untuk menerapkan mandatori E10 setidaknya pada 2027.
Rencana investasi tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu, di sela kunjungannya ke Jepang pekan lalu.
“Sebagai bagian dari strategi menekan impor BBM yang masih tinggi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan mandatori blending bioetanol dalam bensin sebesar 10% [E10] yang akan mulai diterapkan pada 2027. Kami melihat potensi besar kerja sama dengan Toyota untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi bioetanol di kawasan,” ujar Todotua dalam keterangan pers baru-baru ini.
Dia mengelaborasi saat ini kebutuhan bahan bakar di dalam negeri mencapai lebih dari 40 juta kiloliter (kl) per tahun. Dengan mandatori E10, lanjutnya, setidaknya Indonesia membutuhkan sekitar 4 juta kl bioetanol pada 2027.
Berdasarkan Roadmap Hilirisasi Investasi Strategis yang dimiliki Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, lanjut Todotua, sejumlah wilayah seperti Lampung telah disiapkan untuk menjadi sentra pengembangan industri bioetanol.
Proyek percontohan bioetanol tersebut akan memanfaatkan bahan baku dari tebu, singkong, dan sorgum.
“Sebagai pioneer project, tadi sudah didiskusikan akan bekerjasama dengan Pertamina NRE di Lampung, untuk bahan bakunya juga tidak hanya dari perusahaan, tetapi juga melibatkan petani dan koperasi tani setempat sehingga juga dapat menggerakan perekonomian di daerah, nantinya untuk suplai energi juga diintegrasikan dengan plant geothermal dan hidrogen milik Pertamina” jelas Todotua.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian ESDM Menurut hitung-hitungan Kementerian ESDM, kebutuhan bioetanol untuk menjalankan program mandatori E10 itu sekitar 1,2 juta kiloliter.
Sementara itu, saat ini sudah terdapat BBM dengan campuran etanol 5% yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) dengan nama dagang Pertamax Green 95. Pertamina melaporkan konsumsi Pertamax Green 95 hingga kini tercatat sekitar 100—110 kl setiap bulannya.
(mfd/wdh)































