Di sisi lain, Roberth mengungkapkan konsumsi Pertamax Green 95 hingga kini tercatat sekitar 100-110 kiloliter (kl) setiap bulannya.
Berdasarkan data di situs MyPertamina, per 1 September 2025 terdapat 163 jaringan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik Pertamina yang menjual BBM dengan campuran etanol 5% tersebut.
Dijelaskan juga bahwa, proyeksi penjualan Pertamax Green 95 untuk Pulau Jawa sekitar 96 ribu kl dalam satu tahun.
Terkait dengan kebutuhan etanolnya, PPN mengkalkulasi bahwa Pertamax Green 95 membutuhkan sekitar 4.800–5.000 kl per tahun.
Saat ini, PPN telah bermitra dengan penyedia bioetanol yakni PT Enero yang merupakan anak usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang memiliki kapasitas produksi etanol sekitar 30.000 kl per tahun.
“Saat ini mitra strategis penyedia dan penyuplai ethanol yakni PT Enero yang merupakan anak usaha dari PTPN memiliki kapasitas produksi ethanol sekitar 30 ribu kl/tahun, artinya dari segi suplai bisa memenuhi proyeksi demand di Pulau Jawa,” tulis PPN dalam situs resminya.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (Apsendo) mengungkapkan kapasitas produksi pabrik pengolahan tetes tebu (molase) menjadi bioetanol di Indonesia tercatat sebesar 303.000 kiloliter (kl).
Akan tetapi, pada 2024 hanya sebesar 172 ribu kiloliter (kl) yang diproduksi dan 99% diantaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan kosmetik, farmasi, dan sektor pangan dalam negeri.
Ketua Umum Apsendo Izmirta Rachman menjelaskan, saat ini hanya terdapat 4–5 pabrik bioetanol yang aktif dari total 13 pabrik. Dia menjelaskan, rata-rata dari seluruh pabrik memiliki kapasitas produksi tertinggi hingga 100 kl per hari.
Meskipun begitu, pada tahun lalu hampir seluruh produksi bioetanol di pabrik dalam negeri dimanfaatkan untuk industri, kosmetik, farmasi, dan pangan. Dia juga memastikan pabrik yang telah ada sudah mampu untuk memproduksi bioetanol untuk sektor energi.
“Itu semua 99% saya produksi untuk kepentingan domestik non-energy,” kata Izmirta ketika dihubungi, Senin (27/10/2025).
Izmirta mengatakan, berdasarkan data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), pada tahun lalu produksi tebu Indonesia mencapai 38 juta ton. Dari keseluruhan itu, seluruh limbah produksi tebu diolah menjadi molase hingga didapatkan sekitar 1,9 juta ton molase.
Dia menyebut jika molase tersebut diolah kembali menjadi bioetanol, maka setiap 4 kilogram (kg) molase didapatkan 1 liter bioetanol.
“Jadi saya menyerap 660.000 ton tetes nasional dari 1,6 juta ton tetes Indonesia. Itu diserap oleh industri etanol Indonesia,” ungkap dia.
Dalam perkembangannya, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (Puskep UI) Ali Ahmudi Achyak mensinyalir Pertamina mengimpor bioetanol untuk menambal pasokan untuk Pertamax Green 95.
Dia menyatakan Pertamina mensyaratkan bioetanol yang digunakan memiliki standar mutu tertentu dengan volume besar, sementara bioetanol lokal produksinya terbatas dan cenderung fluktuatif.
Selain itu, Ali menilai harga bioetanol dari industri tebu lokal masih terbilang lebih mahal dibandingkan bioetanol impor atau dari sumber bahan baku lain.
Dengan begitu, berdasarkan informasi yang dihimpun Ali, Pertamina diduga mengimpor bioetanol untuk menambal kebutuhan bahan bakar nabati tersebut.
“Pertamina Grup sebagian masih mengimpor bioetanol terutama dari negara seperti Thailand atau Brasil untuk memenuhi kebutuhan awal program uji coba E5, sambil menunggu kesiapan pasokan dalam negeri,” kata Ali ketika dihubungi, Kamis (6/11/2025).
(azr/wdh)


































