“Pertamina Grup sebagian masih mengimpor bioetanol terutama dari negara seperti Thailand atau Brasil untuk memenuhi kebutuhan awal program uji coba E5, sambil menunggu kesiapan pasokan dalam negeri,” kata Ali ketika dihubungi, Kamis (6/11/2025).
Selain faktor teknis dan harga, lanjut Ali, persoalan logistik serta integrasi rantai pasok juga masih menjadi kendala. Dia menyatakan sebagian besar pabrik bioetanol lokal terpisah dengan sistem distribusi BBM Pertamina sehingga biaya transportasi dan penyaluran meningkat.
“Di sisi lain, belum ada mekanisme penyerapan wajib seperti yang diterapkan pada biodiesel di mana pemerintah menetapkan formula harga dan menyerap seluruh produksi dalam negeri melalui mekanisme penugasan,” tegas dia.
Untuk itu, Ali mendorong pemerintah untuk menyusun regulasi yang mendukung pemanfaatan bioetanol lokal dalam program E10 nantinya. Dia meminta pemerintah menetapkan formula harga yang adil agar produsen lokal dapat bersaing.
Dia juga menyarankan regulasi tersebut sudah memuat kepastian offtaker dari bioetanol lokal. Ali menilai, Pertamina dapat ditugaskan menjadi pihak yang wajib menyerap bioetanol petani Indonesia untuk dimanfaatkan dalam program E10.
“Pemerintah juga perlu memberikan insentif investasi untuk modernisasi pabrik etanol tebu dan pengembangan bahan baku lain. Dengan begitu, program bioetanol bukan hanya mengurangi impor BBM fosil, tetapi juga memberi nilai tambah bagi sektor pertanian dan industri dalam negeri,” kata Ali.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (Apsendo) mengatakan kapasitas produksi pabrik pengolahan tetes tebu atau molase menjadi bioetanol sebesar 303.000 kiloliter (kl).
Hanya saja, utilitas pabrik sepanjang 2024 baru mencapai 172.000 kl. Adapun, sebagian besar etanol itu disalurkan untuk kebutuhan industri kosmetik, farmasi dan pangan di dalam negeri.
Ketua Umum Apsendo Izmirta Rachman menuturkan terdapat 4-5 pabrik bioetanol yang aktif saat ini dari total 13 pabrik terpasang. Dia menambahkan masing-masing pabrik memiliki kapasitas produksi sekitar 100 kl per hari.
Kendati demikian, dia menerangkan, seluruh produksi pabrik bioetanol itu belum secara khusus disalurkan untuk memenuhi kebutuhan bensin domestik.
Menurut dia, kapasitas pabrik terpasang saat ini telah mampu untuk memenuhi kebutuhan program mandatori bensin dengan bioetanol 10% atau E10.
“Itu semua 99% saya produksi untuk kepentingan domestik nonenergi,” kata Izmirta ketika dihubungi, Senin (27/10/2025).
Izmirta mengatakan, berdasarkan data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), pada tahun lalu produksi tebu Indonesia mencapai 38 juta ton.
Dari keseluruhan itu, seluruh limbah produksi tebu diolah menjadi molase hingga didapatkan sekitar 1,9 juta ton molase.
Dia menyebut jika molase tersebut diolah kembali menjadi bioetanol, maka setiap 4 kilogram (kg) molase didapatkan 1 liter bioetanol.
“Jadi saya menyerap 660.000 ton tetes nasional dari 1,6 juta ton tetes Indonesia. Itu diserap oleh industri etanol Indonesia,” ungkap dia.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menargetkan program mandatori bensin dengan bioetanol 10% itu bisa diesekusi pada 2027.
Bahlil menerangkan pemerintah memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk menanam sejumlah tanaman penghsil bahan baku bioetanol tersebut.
Sejumlah tanaman potensial yang dijajaki pemerintah untuk menopang program mandatori bensin dengan campuran bioetanol 10% itu di antaranya tebu, jagung hingga singkong.
“Paling lama satu setengah tahun atau dua tahun,” kata Bahlil kepada awak media di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Menurut hitung-hitungan Kementerian ESDM, kebutuhan bioetanol untuk menjalankan program mandatori E10 itu sekitar 1,2 juta kiloliter.
Berdasarkan data PT Pertamina Patra Niaga (PPN) per Juli 2025, BBM dengan campuran bioetanol 5% yakni Pertamax Green 95 telah tersedia di 119 SPBU di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan kini Jawa Tengah. PPN menargetkan produk ini hadir di 150 SPBU hingga akhir 2025.
(azr/wdh)


































