Pendapat senada disampaikan kreator lain yang ingin disebut Mawar. Ia menilai rencana sertifikasi justru berpotensi menambah beban finansial bagi pelaku kreatif.
“Toh buat apa repot urus sertifikat influencer? Kalau nanti harus bayar dan diperbarui tiap tahun, malah makin berat ladang cuan kita,” ujarnya. Mawar berharap pemerintah mempertimbangkan manfaat dan risikonya sebelum kebijakan diterapkan.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) membenarkan tengah mengkaji kemungkinan penerapan sertifikasi bagi influencer.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemkomdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengatakan pembahasan masih berlangsung di tingkat internal. “Kami sedang diskusi tentang mekanisme dan implementasinya, termasuk sistem level dan jenis sertifikasinya,” jelasnya.
Penerapan sertifikasi influencer sebelumnya telah dilakukan di China, di mana kreator digital baru diizinkan membuat konten pada topik tertentu setelah memperoleh izin resmi dari otoritas setempat.
Sertifikasi di negara tersebut menjadi semacam “cap kompetensi” untuk memastikan kreator memiliki pengetahuan sesuai bidang yang dibahas, terutama pada konten kesehatan, pendidikan, dan hukum.
Hingga kini, Kemkomdigi belum menetapkan waktu atau skema pelaksanaan kebijakan tersebut.
(dec/spt)





























