Logo Bloomberg Technoz

Kasus ini akan menentukan nasib sebagian besar tarif impor yang diberlakukan Trump sejak menjabat, termasuk tarif “Liberation Day” pada 2 April.

Trump berargumen bahwa kebijakan itu sah berdasarkan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) tahun 1977, yang memberikan presiden sejumlah kewenangan untuk menangani keadaan darurat nasional di bidang keamanan, kebijakan luar negeri, dan ekonomi. Namun, undang-undang tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan wewenang untuk menetapkan tarif. Penasihat hukum pemerintah menilai defisit perdagangan dan krisis fentanyl sebagai keadaan darurat yang membenarkan penerapan tarif atas triliunan dolar perdagangan.

Berikut pandangan terhadap empat hakim kunci yang akan menentukan arah putusan. Untuk memenangkan perkara, pihak yang menentang tarif setidaknya membutuhkan dua suara dari empat hakim ini.

Tiga hakim liberal — Sonia Sotomayor, Elena Kagan, dan Ketanji Brown Jackson — diperkirakan akan menentang Trump. Sementara dua hakim konservatif senior, Clarence Thomas dan Samuel Alito, hampir pasti mendukungnya.

Sidang argumen dimulai pukul 10 pagi dan diperkirakan berlangsung setidaknya dua jam.

Brett Kavanaugh

Sebagian pengamat menilai Kavanaugh adalah hakim yang paling mungkin mendukung kebijakan tarif Trump. Ini posisi yang agak tidak lazim bagi Kavanaugh, yang dalam beberapa kasus lain kerap sejalan dengan Barrett atau Ketua Mahkamah John Roberts untuk membatasi langkah konservatif ekstrem dari rekan-rekannya, termasuk Gorsuch.

Namun, Kavanaugh dikenal sebagai pendukung kuat kewenangan presiden, terutama dalam urusan luar negeri dan keamanan nasional.
“Pemahaman umum adalah bahwa Kongres bermaksud memberi presiden kewenangan dan fleksibilitas substansial untuk melindungi Amerika dan rakyatnya,” tulisnya pada Juni lalu dalam sebuah perkara terkait Komisi Komunikasi Federal (FCC).

Pernyataan itu berkaitan dengan doktrin pertanyaan besar (major questions doctrine) — isu hukum yang berpotensi menjadi inti perkara tarif ini. Doktrin tersebut, yang sering digunakan Mahkamah Agung untuk membatasi kebijakan Joe Biden saat masih menjadi presiden, menuntut lembaga federal memiliki otorisasi eksplisit dari Kongres sebelum mengambil kebijakan berdampak besar secara ekonomi atau politik.

Menurut Kavanaugh, doktrin tersebut “tidak berlaku dalam konteks keamanan nasional atau kebijakan luar negeri, karena tidak mencerminkan niat legislatif yang biasa.”

Harapan bagi pihak penantang mungkin terletak pada kemungkinan bahwa Kavanaugh akan memandang kasus ini sebagai persoalan wewenang perpajakan dan tarif yang secara konstitusional menjadi milik Kongres — bukan urusan kebijakan luar negeri presiden. Namun, peluang itu tetap kecil.
“Dia mungkin bukan hakim yang bisa diharapkan oleh para penggugat,” kata Elizabeth Prelogar, pengacara banding dari firma Cooley dan mantan jaksa agung di era Biden.

Neil Gorsuch

Sebaliknya, Gorsuch bisa jadi lebih skeptis terhadap Trump dibanding biasanya.

Sebagai penganut tekstualisme yang ketat, Gorsuch kemungkinan akan menyoroti fakta bahwa undang-undang yang digunakan Trump tidak secara jelas menyebutkan tarif atau pajak. Bagian terdekat hanya memberi presiden kewenangan untuk “mengatur impor” dalam situasi darurat.

Gorsuch juga dikenal sebagai pendukung kuat doktrin pertanyaan besar dan doktrin nondelegasi, yang membatasi ruang Kongres untuk menyerahkan kewenangan legislatif dan perpajakannya kepada eksekutif. Dalam perkara FCC, Gorsuch menegaskan bahwa doktrin nondelegasi sangat penting untuk mencegah Kongres menyerahkan kekuasaan domestik soal pajak — meski ia mengakui bahwa tarif mungkin termasuk kategori berbeda.

Menurut Prelogar, Gorsuch bisa jadi lebih berpotensi menolak tarif Trump dibanding Kavanaugh. “Yang tampaknya lebih terbuka justru Roberts, Barrett, dan Gorsuch,” katanya.

Amy Coney Barrett

Seperti Gorsuch, Barrett juga merupakan seorang tekstualis yang sangat memperhatikan makna eksplisit dalam undang-undang. Ia menerapkan versi yang lebih lunak dari doktrin pertanyaan besar, dengan menyebutnya sebagai alat “akal sehat” untuk menilai sejauh mana Kongres bermaksud menyerahkan kewenangan kepada cabang eksekutif.

Karena Konstitusi memberikan semua kekuasaan legislatif kepada Kongres, “seorang penafsir yang rasional akan menganggap Kongres seharusnya membuat keputusan kebijakan besar sendiri, bukan menyerahkannya kepada cabang lain,” tulis Barrett pada 2023 ketika ikut membatalkan program penghapusan utang mahasiswa Presiden Biden.

Barrett mungkin melihat kebijakan tarif Trump sebagai “keputusan kebijakan besar” yang seharusnya dibuat oleh Kongres, bukan presiden. Namun, ia belum pernah secara eksplisit menyinggung soal tarif atau pajak, dan belum jelas apakah faktor keamanan nasional akan memengaruhi pandangannya.

John Roberts

Ketua Mahkamah John Roberts dikenal lebih fokus pada peran institusional pengadilan dan dampak praktis suatu putusan, ketimbang doktrin hukum itu sendiri.

Roberts pernah menjadi penentu dalam perkara besar pada 2012, ketika ia memilih untuk mempertahankan Affordable Care Act milik Barack Obama, meski secara pribadi tidak sejalan dengan argumentasi hukumnya. Kini, ia dihadapkan pada keputusan apakah akan mendukung atau menentang kebijakan ekonomi utama Trump.

Langkah tersebut bukan tanpa risiko, mengingat Trump kerap menyerang Mahkamah Agung dan hakim-hakimnya secara pribadi jika putusannya tidak sejalan dengan kepentingannya.

“Para hakim yang akan menentukan hasil kasus ini akan merasa perlu memiliki dasar hukum yang sangat kuat sebelum mereka memutuskan untuk berhadapan langsung dengan presiden,” kata Donald Verrilli, pengacara banding dari Munger, Tolles & Olson sekaligus mantan jaksa agung era Barack Obama.

“Sulit membayangkan faktor itu tidak memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam kasus ini,” tambahnya.

(bbn)

No more pages