Lewat investor anyar nantinya, Moshe menambahkan, proyek ini relatif bisa berjalan di tengah sanksi berat kepada Rosneft. Hanya saja, dia tidak dapat memastikan kelancaran proyek tersebut.
“Apakah kalau misalkan Rosneft sebagai silent partner yang tidak mempunyai peran apakah itu bisa menghindari sanksi? Atau tetap terkena sanksi? Nah itu kan semua ada di detail seperti apa. Resiko itu tetap ada,” tegas dia.
Sementara itu, Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo berpendapat risiko mangkraknya proyek tersebut bisa terjadi gegara Rosneft akan sulit mendapatkan akses pembiayaan untuk mendanai proyek tersebut.
Terlebih, Kilang Tuban diprediksi membutuhkan nilai investasi mencapai US$24 miliar.
Hadi menegaskan bahwa melanjutkan kerja sama dengan Rosneft di proyek Kilang Tuban akan sangat berisiko bagi Indonesia. Nantinya, Indonesia juga diprediksi akan mengimpor minyak mentah dari Rusia yang akan diolah di kilang tersebut.
“Ketika beroperasi harus impor crude dari Rusia, artinya kita akan impor minyak yang dikenakan sanksi dan sampai hari ini [minyak Rusia] tidak bisa masuk ke Indonesia. Karena kesulitan kesulitan di atas, GRR Tuban bisa berakhir tragis, mangkrak,” kata Hadi ketika dihubungi, Jumat (24/10/2025).
Target FID
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyebut pemerintah tengah mengevaluasi nasib keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID) Rusia di Kilang Tuban, menyusul sanksi baru AS terhadap Rosneft.
FID Rosneft di proyek GRR tersebut semestinya ditargetkan rampung pada kuartal IV-2025.
Yuliot mengatakan pemerintah akan meminta kepastian kepada Rosneft terkait dengan kesanggupan raksasa migas milik Rusia itu untuk melanjutkan komitmen investasinya di Kilang Tuban.
“Jadi ya kita evaluasi lagi, bagaimana pemenuhan komitmen yang terkait dengan sanksi,” kata Yuliot ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (24/10/2025).
Yuliot mengatakan kementeriannya bakal menimbang alternatif partner baru untuk masuk ke proyek Kilang Tuban apabila Rosneft tidak dapat meneruskan proyek.
“Nah ini nanti berdasarkan pembicaraan dengan Rosneft. Jadi kalau mereka menyatakan tidak bisa melanjutkan, ya nanti ya kita pikirkan,” tuturnya.
“[Sejauh ini], komitmen mereka masih tetap, untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban tetap yang mereka lakukan.”
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian senilai US$515,211 juta atau sekitar Rp8,38 triliun dari proyek Kilang Tuban.
Indikasi kerugian itu didasari pada dana yang telah dikeluarkan PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP).
Lewat proporsi kepemilikan saham itu, BPK mensinyalir, indikasi kerugian yang ditanggung Pertamina mencapai US$416,34 juta atau sekitar Rp6,77 triliun.
“Pertamina dan KPI telah merealisasikan dana senilai US$416,34 juta yang berpotensi merugikan keuangan perusahaan apabila proyek tidak disetujui pelaksanaannya,” tulis BPK dalam dokumen Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (DTT) dikutip Kamis (5/6/2025).
Adapun, hasil audit itu memiliki nomor 68/LHP/XX/12/2024 dengan tarikh 27 Desember 2024. Penanggung jawab pemeriksaan atas pengelolaan pendapatan, biaya dan investasi KPI itu adalah Auditor Utama Keuangan Negara VII Novy Gregory Antonius Pelenkahu.
Di sisi lain, lembar audit itu turut diparaf Direktur Utama KPI Taufik Adityawarman sebagai pernyataan tanggung jawab pada 31 Januari 2024.
BPK membeberkan Pertamina telah mengeluarkan dana senilai US$295,51 juta untuk pengadaan lahan, pembebasan lahan (early work/land clearing), dan pengembangan lahan (site development).
Sementara itu, PRPP telah mengeluarkan dana senilai US$219,69 juta untuk desain teknik dasar atau basic engineering design (BED), pemberi lisensi, konsultan manajemen proyek, biaya hukum, studi, personel, dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang tidak dapat dikembalikan sampai dengan 31 Desember 2022.
(azr/naw)
































