Logo Bloomberg Technoz

Nazif menilai, figur pahlawan nasional seharusnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan reformasi, bukan sosok yang merepresentasikan masa otoritarian. 

“Suharto bukan nominasi yang tepat. Secara historis, ia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang menghianati cita-cita kemerdekaan,” tegasnya.

PVRI mencatat, dari total 40 nama yang masuk daftar nominasi pahlawan nasional tahun ini, sebanyak 10 di antaranya berlatar belakang militer, termasuk Soeharto, dan 11 lainnya dari kalangan elit agama. 

“Artinya, militer dan elit agama masing-masing memperoleh sekitar seperempat dari total nominasi. Ini menunjukkan adanya politik pengkultusan individu sekaligus kompromi antara aktor penguasa dan kelompok agama yang sedang diakomodasi,” kata Nazif.

Ia menambahkan, kecenderungan itu bukan pertanda baik bagi masa depan demokrasi di Tanah Air. 

“Baik dari sisi struktur maupun simbol, arah kebijakan ini telah mengayun ke arah otoritarianisme,” ujarnya.

Sementara itu, Peneliti PVRI Alva Maldini menyoroti masuknya nama Marsinah dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam daftar nominasi yang sama. 

Menurutnya, kedua tokoh yang dikenal sebagai simbol perjuangan buruh dan demokrasi itu berisiko dijadikan pembenaran politik bila disandingkan dengan nama Soeharto. 

“Dalam situasi militerisme dan menyempitnya ruang sipil, ada risiko dua nama ini menjadi apologi atau bahkan bagian dari tukar guling politik,” ungkap Alva.

PVRI menegaskan, demokrasi Indonesia kini menghadapi ancaman yang kian nyata — mulai dari ruang publik yang menyempit, hilangnya oposisi, hingga menurunnya integritas pemilu. 

Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, menurut lembaga itu, menjadi penanda simbolis dari kemunduran demokrasi dan penguatan kembali pola kekuasaan militeristik di pemerintahan sipil.

(dec/spt)

No more pages