Sentimen itu seperti, bantuan langsung tunai (BLT) Rp30 triliun di kuartal IV-2025 dan tren penurunan suku bunga acuan.
Kemudian, ada juga sentimen dari Danantara yang telah menyiapkan Rp16 triliun untuk menambah likuiditas di pasar. Dana ini sebagian sudah dibelanjakan untuk membeli obligasi pemerintah.
Semua sentimen itu membuat saham fundamental seperti perbankan menjadi menarik, terlebih valuasinya saat ini sudah murah.
Namun, semua situasi itu belum cukup menarik minat investor asing sepenuhnya. Meski masih ada inflow, tapi akumulasi net sell mencapai Rp49,7 triliun sejak awal tahun.
"Pada akhirnya, saham-saham fundamental sebagian besar masih dipengaruhi oleh proyeksi kinerja, yang belum memiliki katalis pertumbuhan yang jelas. Oleh karena itu, pelaku pasar akan mencermati proyeksi tahun 2026 untuk melihat apakah ada potensi kenaikan lebih lanjut di luar peluang-peluang taktis ini," jelas Alvin, dikutip Jumat (23/10/2025).
Dengan kata lain, penurunan saham-saham konglomerasi yang sempat terjadi bukan sinyal kuat perubahan tren pasar.
Apa yang Terjadi dengan Saham Konglomerasi?
Selain prospek kinerja jangka panjang, saham konglomerasi juga tersengat oleh sentimen aksi korporasi. Ini memicu investor, khususnya ritel, terus melakukan akumulasi, khususnya periode Agustus dan September.
"Berdasarkan penelusuran kami, sebagian besar aliran dana atas akumulasi saham konglomerasi berasal dari transaksi fasilitas margin, terutama di kalangan individu berkekayaan tinggi. Beberapa bahkan menggunakan margin jangka pendek (yaitu t+2) yang sangat berisiko," kata Alvin.
Banyaknya akumulasi yang dilakukan dengan fasilitas margin juga tercermin nilai transaksi sejumlah broker yang melonjak pada Agustus dan berlanjut hingga September (lihat tabel).
Akumulasi yang terkonsentrasi di saham konglomerasi kemudian 'terganggu' oleh sentimen kembali memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, sehingga IHSG berbalik arah.
"Aksi jual yang sempat terjadi dipicu oleh volatilitas pasar yang menyebabkan stop loss dan margin call di saham-saham konglomerasi," kata Alvin.
Butuh Konfirmasi
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia mengatakan, setidaknya butuh dua konfirmasi lanjutan untuk membuat saham fundamental kembali bergerak. Dua konfirmasi ini sebagai pelengkap dari sentimen-sentimen yang telah muncul sebelumnya.
"IHSG ke depan tetap akan ditentukan oleh dau faktor utama, stabilisasi sektor keuangan AS dan realisasi likuiditas domestik," kata Liza.
Likuiditas domestik yang dimaksud adalah Danantara. Jika dana Danantara benar-benar mengalir dan pasar global mulai stabil dari tekanan tarif dan risiko shutdown AS, peluang teknikal rebound besar terjadi.
"Namun, jika volatilitas global berlanjut dan belum ada kebijakan konkret dari The Fed maupun China, IHSG masih rentan fluktuasi tajam dengan kecenderungan defensif pada saham-saham berfundamental kuat dan likuid," jelas Liza.
Sehingga, untuk jangka pendek, saham-saham blue chip dengan kinerja kuartal III dan likuiditas tinggi menjadi pilihan yang paling logis.
"Dalam jangka menengah, arah IHSG berpotensi kembali mengikuti earnings-driven recovery apabila hasil laporan keuangan kuartal III menunjukkan momentum perbaikan, terutama di sektor perbankan, otomotif, dan telekomunikasi."
*Dengan asistensi Artha Adventy & Recha Tiara*
(dhf)





























