"Kalau dia butuh duit beneran untuk ekspansi, yaudah kita dukung. Tapi kalau masih banyak uangnya di bond di obligasi, ngapain kita dukung?."
INA merupakan lembaga pengelola investasi atau sovereign wealth fund (SWF) milik Indonesia yang didirikan pada tahun 2020, sebelum adanya BPI Danantara yang juga telah resmi lahir pada Juni tahun ini.
INA bertugas mengelola investasi pemerintah untuk meningkatkan nilai aset negara secara jangka panjang guna mendukung pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan generasi mendatang.
Berdasarkan laporan keuangannya sepanjang 2024 (audited), INA tercatat memiliki total aset senilai Rp110,8 triliun. Jumlah itu mengalami penurunan dibandingkan posisi akhir 2023 yang masih sebesar Rp116,8 triliun.
Dari total tersebut, sebanyak Rp10,34 triliun diantaranya berada di instrumen obligasi, meski menurun dari posisi tahun sebelumnya yang masih sebesar Rp13,16 triliun.
Sementara itu, investasi dalam instrumen ekuitas dari aset keuangan lainnya tercatat mencapai sebesar Rp64,99 triliun, yang juga mengalami penurunan dari posisi sepanjang 2023 lalu yang masih Rp76,64 triliun.
Permintaan tersebut sebelumnya diutarakan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, Kamis kemarin.
Luhut lantas mengestimasi jika pemerintah dapat mengguyur likuditas kepada INA dengan nilai total mencapai Rp50 triliun setiap tahun, maka kemungkinan akan turut mengembangkan foreign direct investment (FDI) cukup besar.
Berdasarkan kalkulasi Luhut, guyuran dana likuiditas tersebut setidaknya dapat meningkatkan nilai keuntungan lewat investasi asing itu menjadi sekitar Rp1.000 triliun dalam 5 tahun ke depan.
"Kalau kita tarik investasi Rp50 triliun ke situ [INA] setiap tahun, dari dana yang tadi ada masih sisa di Bank Indonesia Rp461 triliun, dari yang 200 triliun sudah ditaruh ke perbankan, itu kalau kita leverage [ke INA], itu bisa Rp1.000 triliun. Itu angka yang sangat besar," tutur dia.
(lav)






























