Fahmy menyebut solar yang digunakan dalam campuran B50 diprediksi masih berasal dari pasokan yang diimpor oleh pemerintah.
Meskipun begitu, dia tetap meyakini bahwa impor solar pada tahun depan bisa berkurang setidaknya sebesar 50% sebab akan digantikan dengan penggunaan biodiesel dengan porsi sebesar 50%.
“Jadi penurunan impor solar tadi hingga 50% gitu, ya itu lumayan juga. Namun, kalau dikatakan bahwa itu stop impor solar, kayaknya agak berlebihan,” kata Fahmy saat dihubungi, Rabu (15/10/2025).
Penuh Tantangan
Fahmy memprediksi dana insentif yang digelontorkan pemerintah untuk program B50 akan lebih besar dibandingkan dengan impor solar secara langsung. Akan tetapi, Fahmy menilai pemerintah memiliki niatan lain dalam menjalankan program tersebut yakni demi menyediakan BBM diesel yang ramah lingkungan.
Dia bahkan menilai dana insentif yang didapatkan dari pungutan ekspor (PE) CPO tak akan mencukupi membiayai produksi B50, terlebih pemerintah berencana memangkas ekspor CPO pada tahun depan sebesar 5,3 juta ton.
Fahmy memandang pemerintah akan menggelontorkan dana dari anggaaran pendapatan dan belanja negara (APBN) demi membantu Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mendanai B50, apalagi jika disparitas harga antara solar dengan biodiesel semakin melebar.
“B50 ya sudah [pasti butuh pendanaan] dari APBN. Tidak mungkin dibebankan pada pungutan ekspor saja,” tegas dia.
Di sisi lain, dia mewaspadai terdapat perebutan bahan baku CPO antara sektor pangan dan sektor energi. Terlebih, produksi CPO dalam negeri dinilai masih terbatas dan kebijakan B50 diprediksi akan meningkatkan kebutuhan CPO untuk sektor energi.
Dia meminta pemerintah menyiapkan regulasi yang mengatur pemanfaatan CPO di dalam negeri agar kebutuhan untuk sektor pangan tetap terpenuhi meskipun ada peningkatan permintaan dari sektor energi.
“Nah jadi, dan kalau ini tidak diatur juga, maka berpotensi menimbulkan krisis. Kalau misalnya terlalu banyak untuk B50, untuk ekspor, kebutuhan untuk minyak sawit akan kekurangan, dan bisa juga akan terjadi krisis dari minyak kurang, karena kekurangan CPO tadi,” ujar Fahmy.
“Jadi kalau tidak ada pengaturan dari pemerintah gitu ya, melalui regulasi, maka itu berpotensi akan menimbulkan masalah baru,” tegas dia.
Sebagai informasi, Kementerian ESDM memprediksi implementasi mandatori biodiesel B50 mulai semester II-2026 berpotensi memangkas kebutuhan solar baik dari produksi dalam negeri maupun impor sebesar 20 juta kiloliter (kl).
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM Eniya Listiani Dewi menjelaskan proyeksi konsumsi solar pada 2026 akan mencapai 40,2 kl.
Ketika mandatori B50 dilakukan, klaimnya, setengah dari kebutuhan solar Tanah Air akan tersubstitusi oleh biodiesel.
“Jadi konsumsi [solar] kita itu 40,2 juta kl prediksi tahun depan. Itu konsumsi solar. Nah, 50%-nya 20,1 juta kl. Itu komposisi FAME nanti kan. Komposisi FAME-nya 20,1 juta kl,” kata Eniya kepada awak media, di kantor Kementerian ESDM, Selasa (14/10/2025).
Ditemui di lokasi yang sama, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan mandatori biodiesel B50 akan diimplementasikan pada semester II-2026. Dia mengklaim penerapan B50 akan menyetop impor solar yang dilakukan Indonesia.
Bahlil menyebut, total impor minyak solar yang diperkirakan di angka 4,9 juta kl per tahun akan terpangkas imbas implementasi mandatori B50.
Sekadar catatan, Presiden Prabowo Subianto di acara Qatar Economic Forum medio tahun lalu menyebut Indonesia mengimpor solar rata-rata senilai US$20 miliar per tahun atau sekitar Rp323,69 triliun.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian ESDM, impor minyak solar pada tahun ini mencapai 4,9 juta kl atau setara 10,58% dari total kebutuhan nasional. Dengan begitu, total kebutuhan solar RI pada 2025 mencapai sekitar 46,32 juta kl.
Adapun, dana insentif untuk B50 yang disalurkan pemerintah berasal dari pungutan ekspor (PE) CPO. Nantinya, dana tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dan akan digunakan untuk menutup selisih harga CPO dengan solar.
Pada tahun ini saja, ketika biodiesel B40 dimandatorikan, dana insentif yang diberikan BPDP untuk program tersebut diproyeksikan meningkat. Mulanya, pembiayaan biodiesel untuk program B40 diproyeksikan sekitar Rp35,5 triliun, tetapi akhirnya mengalami kenaikan Rp16,8 triliun menjadi sekitar Rp52,3 triliun.
Alokasi pendanaan biodiesel pada 2025 hanya dibatasi untuk segmen public service obligation (PSO) sebanyak 7,55 juta kiloliter (kl) dari total target produksi B40 tahun ini sebanyak 15,6 juta kl.
Sementara itu, untuk B50, pemerintah masih menyusun besaran insentif yang akan dialokasikan seiring dengan berjalannya pengujian teknis B50.
Sebagai catatan, Kementerian ESDM memprediksi Indonesia membutuhkan tambahan produksi 4 juta kl fatty acid methyl ester (FAME) untuk menjalankan mandatori B50 pada 2026.
Kementerian ESDM mencatat total produksi biodiesel untuk memenuhi kebutuhan B40 berada sekitar 15,7 juta kl. Untuk B50, ESDM memprediksi program tersebut akan menghabiskan biodiesel sekitar 19 juta hingga 20 juta kl.
Dengan begitu, Indonesia membutuhkan tambahan produksi sekitar 4 juta kl FAME untuk menjalankan B50.
(azr/wdh)
































