"Ada beberapa pihak yang [terima aliran uang] sudah ada. Jumlahnya bervariasi, ini ada ratusan juta sampai miliaran. Bahkan puluhan miliaran."
Menurut Cahyono, permasalahan dalam perkara ini - yang menyebabkan mangkraknya pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat - cukup kompleks. Hal ini terjadi karena PT Bumi Rama Nusantara mengalihkan pekerjaan kepada PT Praba Indopersada (subkontraktor). Namun, kualitas alat-alat yang diberikan PT Praba Indopersada di bawah standar spesifikasi.
"Termasuk ada tenaga kerja yang dilibatkan ini ada tenaga kerja dari China yang bermasalah dan tidak ada surat izin surat izin pekerja itu dari pihak tenaga kerja asing sehingga pekerja China ini dikembalikan dideportasi," ujar Cahyono.
Proyek ini bermasalah usai terjadi amandemen kontrak hingga 10 kali hingga Desember 2018. Secara faktual, BRN dan Praba pun telah berhenti melakukan pembangunan pada 2016.
Saat ini, bangunan dan sejumlah mesin yang telah terpasang telah terbengkalai atau mangkrak. Beberapa mesin dalam kondisi rusak karena ada batas usia dan perlu mendapatkan perawatan rutin. Di sisi lain, lokasi bangunan di sisi laut membuat sejumlah mesin dan konstruksi bangunan mengalami korosi hingga rentan roboh.
Fakta bahwa proyek ini sama sekali tak bisa digunakan membuat Kortas Polri pun memperkirakan kerugian negara yang terjadi maksimal atau total. PLN pun diketahui sudah membayar kepada KSO BRN sebesar US$62,4 juta dan Rp323 miliar.
(dov/frg)
































