Logo Bloomberg Technoz

Sementara untuk under-invoicing, produk telepon dan smartphone (HS 8517) menempati posisi pertama dengan nilai US$21,9 miliar, diikuti pesawat terbang (HS 8802) dan minyak olahan (HS 2710).

Dampak ke Penerimaan Negara

Besarnya praktik under-invoicing ini berimplikasi langsung pada berkurangnya penerimaan pajak. Misalnya, potensi pajak yang hilang dari komoditas smartphone (HS 8517) saja mencapai Rp64,4 triliun, dan dari minyak olahan sekitar Rp18 triliun. Dari dua komoditas itu saja, lebih dari Rp80 triliun penerimaan negara lenyap, jumlah yang bahkan lebih besar dibandingkan upaya pemerintah menagih Rp60 triliun pajak dalam negeri

Ancaman Serius bagi Fiskal dan Ekonomi

NEXT Indonesia menegaskan bahwa praktik misinvoicing bukan sekadar soal kehilangan pajak. Lebih jauh, hal ini melemahkan cadangan devisa, memicu aliran modal ilegal (capital flight), hingga merusak iklim persaingan usaha karena importir nakal diuntungkan.

“Mencegah dan menanggulangi misinvoicing impor bukan sekadar soal penagihan pajak, ini soal menjaga kedaulatan fiskal dan integritas ekonomi. Solusinya memerlukan kombinasi penguatan kapasitas bea cukai dan otoritas pajak, digitalisasi pabean, pertukaran informasi internasional, audit berbasis risiko, serta kerja sama lintas-lembaga dan antarnegara” tulis laporan tersebut.

Untuk itu, solusi yang diusulkan mencakup penguatan kapasitas Bea Cukai dan otoritas pajak, digitalisasi pabean, audit berbasis risiko, serta kerja sama lintas-lembaga dan antarnegara.

Dengan rata-rata Rp1.000 triliun dana gelap per tahun yang lolos dari jalur impor, riset ini memberi peringatan keras: pemerintah perlu segera menutup celah manipulasi perdagangan internasional. Jika tidak, “dana siluman” ini akan terus menggerogoti kemampuan negara dalam membiayai pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi.

(red)

No more pages