“Anak kita bisa menyusu sampai dua tahun. Ada MPASI karena orang tua pintar. Bahkan Kemenkes sudah punya poster besar soal pembagian porsi ASI dan makanan. Usia dua tahun itu sudah enggak ada gelas susu, karena anak sudah makan penuh,” ujarnya.
Tan menegaskan, pemberian susu formula maupun makanan instan tidak sesuai dengan prinsip pemberian makan bayi dan anak (PMBA). Bahkan, kata dia, produsen susu formula sudah menuliskan di kardus produknya bahwa ASI adalah yang terbaik. “Kenapa tidak dibaca? Kami nakes sudah mati-matian mengajar masyarakat selama 80 tahun merdeka, sekarang habis hanya karena produk instan merajalela,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa Kementerian Kesehatan sudah menerbitkan buku saku untuk Posyandu yang menegaskan jenis makanan tambahan apa yang dianjurkan dan tidak.
Biskuit dan produk instan, menurut panduan itu, tidak direkomendasikan, sedangkan sumber protein hewani lokal justru harus digalakkan.
“Posyandu sudah memberi penyuluhan bulanan. Orang tua tahu, penimbangan dapat telur, bubur kacang hijau. Itu semua sudah ditegaskan, yang disarankan adalah makanan lokal kaya protein hewani,” kata Tan.
Lebih jauh, ia menyinggung adanya Program Makanan Tambahan (PMT) Pemulihan yang juga telah disusun pemerintah untuk anak dengan gizi kurang atau berat badan tidak naik. Program ini berlangsung 28 hingga 90 hari sesuai panduan. “Mengurus stunting dan malnutrisi tidak bisa hanya sekadar bagi-bagi makanan, apalagi yang bagiannya enggak jelas,” tuturnya.
Kritik ini menambah sorotan terhadap MBG yang sejak awal menuai perdebatan. Tan menegaskan, reformasi mutlak diperlukan agar tujuan program kembali kepada esensinya, yakni mendidik gizi anak, bukan sekadar membagikan produk olahan.
(dec/spt)


































