Sebuah pemberontakan Islamis menggulingkan sang otokrat pada Desember, membuka jalan bagi pencabutan sanksi dan investasi asing, meskipun kekerasan sektarian dan serangan udara Israel telah membuat negara tersebut tetap kacau.
Pada Juli, Presiden Donald Trump mencabut sanksi Amerika Serikat (AS) dalam upaya untuk meningkatkan perekonomian Suriah yang terpuruk dan mendukung pemerintahan baru. Dua bulan sebelumnya, Uni Eropa (UE) juga mencabut semua sanksi ekonomi yang tersisa terhadap Suriah.
Infrastruktur negara yang bobrok tetap menjadi tantangan bagi perusahaan minyak.
Presiden Ahmed Al-Sharaa, yang kelompok Hayat Tahrir Al-Sham-nya memimpin pemberontakan melawan Assad akhir tahun lalu, telah berupaya menjalin hubungan yang lebih kuat dengan negara-negara Arab, khususnya di Teluk, untuk membangun kembali negaranya.
Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab merupakan beberapa pendukung utamanya.
Tahun ini, pemerintah Suriah menandatangani kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan Saudi untuk merehabilitasi sektor energinya, dan perjanjian senilai US$800 juta dengan perusahaan logistik yang berbasis di Dubai, DP World Ltd., untuk mengembangkan pelabuhan Tartus dan kawasan logistik di Suriah.
Suriah memiliki ladang gas dan minyak di wilayah timur laut negara yang dikuasai Kurdi.
Pada Maret, Sharaa dan kepala Pasukan Demokratik Suriah, Mazloum Abdi, menandatangani perjanjian untuk mengintegrasikan kelompok bersenjata pimpinan Kurdi yang didukung AS ke dalam lembaga-lembaga negara dan menempatkan sumber daya di wilayah tersebut di bawah kendali negara.
Ketegangan antara kedua belah pihak dalam beberapa bulan terakhir menimbulkan keraguan apakah perjanjian tersebut akan berlaku sebelum akhir tahun sesuai rencana.
(bbn)




























