Logo Bloomberg Technoz

Menurut BMI, ekspansi Kilang Balikpapan ini memang bisa membantu meningkatkan swasembada pasokan bahan bakar domestik dan mengurangi impor yang mahal.

“Namun, upaya ini terkendala oleh lambatnya penambahan kapasitas kilang dan kurangnya investasi asing. Ekspansi kapasitas kilang Indonesia terus tertinggal dari pertumbuhan permintaan, sehingga negara ini bergantung pada impor,” terang mereka.

Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan impor migas sepanjang Januari—Juli 2025 mencapai US$18,38 miliar, turun 14,79% dari rentang yang sama 2024 senilai US$21,57.

Risiko Penundaan

Lebih lanjut, BMI menilai rencana peningkatan kapasitas kilang di Indonesia secara agregat mungkin bakal menghadapi penundaan yang signifikan, dengan kemajuan yang bergantung pada kinerja keuangan Pertamina.

Pada 2014, pemerintah meluncurkan dua program utama untuk sektor hilir migas, yaitu; RDMP Balikpapan dan dan proyek Grassroots Refinery (GRR) di Kilang Tuban. Keduanya bertujuan untuk memperluas kapasitas kilang dan meningkatkan fasilitas yang ada.

RDMP mencakup kilang Dumai, Plaju, Cilacap, Balongan, dan Balikpapan. Namun, menurut BMI, kemajuannya lambat karena keterbatasan modal dan kurangnya minat dari investor asing.

Meskipun RDMP dan GRR awalnya dirancang untuk implementasi bersama antara Pertamina dan mitra asing, lanjut BMI, hengkangnya investor seperti Saudi Aramco telah membuat Pertamina menanggung sendiri beban investasi.

Di sisi lain, Pertamina telah melaporkan penurunan pendapatan dan laba bersih selama dua tahun berturut-turut sejak 2022, yang membatasi kemampuannya untuk memenuhi permintaan modal yang bersaing dari sektor penyulingan, gas alam, dan energi terbarukan.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas kilang RI tetap tidak berubah di angka 1,16 juta bph antara 2019—2024, yang menggarisbawahi ketertinggalan pertumbuhan permintaan bahan bakar.

Sebagian besar belanja modal atau capital expenditure (capex) difokuskan pada peningkatan bahan bakar, proyek konversi, dan produksi biofuel.

Bagaimanapun, Pertamina tetap berkomitmen untuk memperluas kapasitas kilang dan proyek ekspansi, meskipun belum pasti apakah kapasitas penyulingan Indonesia secara keseluruhan akan meningkat secara signifikan setelah 2026.

BMI mencatat Pertamina telah mengalokasikan US$8,3 miliar untuk capex industri penyulingan dan petrokimia antara 2025 hingga 2029.

Saat ini, lima kilang sedang dalam berbagai tahap investasi dalam RDMP. Pertamina telah menyelesaikan beberapa proyek peningkatan di Cilacap, sementara proyek RDMP Balikpapan hampir selesai.

Peningkatan signifikan belum selesai di tiga kilang lainnya. 

Namun, Pertamina sedang melanjutkan proyek kilang Balongan Tahap I dan II, dengan tahap pertama memberikan peningkatan kapasitas yang moderat sebesar 25.000 bph. Prospek untuk melanjutkan Tahap II dan III masih belum pasti.

Pertamina juga telah mendapatkan investasi substansial sebesar US$22 miliar dari CPC Taiwan untuk Tahap III, yang akan menambah kapasitas sebesar 90.000 bph. Namun, penyelesaian tahap kedua dan ketiga telah ditunda hingga 2027.

Pada Mei 2020, Pertamina mengumumkan nota kesepahaman (MoU) dengan PT Nindya Karya, dan konsorsium Korea Selatan yang dipimpin oleh DH Global untuk mempelajari kelayakan perluasan kilang Dumai sebesar 200.000 bph (CDU), dengan target penyelesaian pada 2030. 

Kilang Pertamina Dumai. (Dok. Pertamina)

Kilang Tuban

Selain itu, Pertamina dilaporkan telah menyelesaikan peningkatan pabrik pemisah kondensat Trans-Pacific Petrochemical Indotama di Tuban, Jawa Timur, terutama untuk meningkatkan produksi bensin domestik.

Meskipun telah mencapai kemajuan dalam RDMP, upayanya untuk menerapkan GRR di Tuban terhambat oleh sanksi Barat terhadap Rosneft, mitra usaha patungan Pertamina dari Rusia dalam proyek Kilang Tuban dan petrokimia terintegrasi greenfield berkapasitas 300.000 bph yang direncanakan.

“Tanpa mitra baru, Indonesia akan terus menghadapi tantangan keuangan dalam melaksanakan proyek Kilang Tuban, yang kemungkinan besar tidak akan terealisasi sebelum akhir dekade ini,” papar BMI.

Sekadar catatan, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) melaporkan proyek RDMP Balikpapan sudah makin mendekati tahap finalisasi. Saat ini, proyek itu telah memasuki fase persiapan operasional unit Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC).

Pjs. Corporate Secretary KPI Milla Suciyani mengatakan unit RFCC baru di Kilang Balikpapan ditargetkan dapat mulai beroperasi pada kuartal IV-2025. Unit RFCC yang tengah dipersiapkan beroperasi ini memiliki kapasitas pengolahan hingga 90.000 bph

Melalui teknologi RFCC, residu minyak mentah dapat ditingkatkan nilai tambahnya dengan diolah menjadi produk bernilai tinggi, sekaligus menghasilkan LPG, gasoline, dan propylene sebagai output utama.

"Dengan beroperasinya RFCC Balikpapan ini akan makin menambah kapasitas dan memperkuat kapabilitas KPI sebagai penopang ketahanan energi nasional. Hal ini akan mendukung kemandirian energi nasional karena kilang dapat menghasilkan lebih banyak produk berkualitas tinggi," ujar Milla melalui keterangan resmi, akhir Agustus.

RFCC Kilang Balikpapan akan menjadi unit RFCC terbesar milik Pertamina, melampaui kapasitas unit serupa di Kilang Cilacap yang telah beroperasi sejak 2015 dengan kapasitas 62.000 bph.

Menurut Milla, pencapaian ini tidak hanya memperkuat posisi Pertamina dalam pemrosesan minyak berteknologi tinggi, tetapi juga sejalan dengan Asta Cita Pemerintah—khususnya cita ke-3 mengenai kemandirian ekonomi berbasis energi bersih dan berkelanjutan, serta cita ke-6 tentang pemerataan pembangunan wilayah.

"Kehadiran RFCC tidak hanya memperkuat pasokan energi nasional, tetapi juga memberikan banyak manfaat lain bagi Indonesia, antara lain membuka peluang pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan aktivitas industri, penyerapan tenaga kerja, dan efek berganda bagi masyarakat sekitar," terangnya.

(wdh)

No more pages