Selain itu, lanjut Satriawan menilai postur APBN 2025 sebenarnya alokasi untuk pendidikan dasar dan menengah tidak mendapatkan alokasi yang proporsional.
Pihak P2G pun menyesalkan anggaran pendidikan 20% sebagai mandatory spending justru lebih besar dialokasikan pada kementerian lain yang tidak mengelola pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah.
"Padahal persoalan utama pendidikan Indonesia, masih berkutat pada pendidikan dasar dan menengah termasuk jenjang PAUD," lanjut Satriwan.
P2G juga menilai bahwa kinerja pemerintah Prabowo-Gibran belum fokus terhadap pembenahan pendidikan dasar dan menengah termasuk PAUD.
Satriawan menunjukkan bahwa soal Kemdikdasmen hanya mendapat alokasi anggaran Rp33,5 triliun atau sekitar 4,6% saja dari 20% APBN 2025 untuk pendidikan.
Menurut dia, hal ini begitu tampak kontras dengan anggaran MBG. Mestinya anggaran MBG tidak boleh mengambil dari anggaran pendidikan 20%, mengingat anggaran MBG tidak secara langsung atau eksplisit diperintahkan oleh konstitusi, berbeda dengan anggaran pendidikan dan hak warga negara mendapat pendidikan yang disebut eskplisit dalam pasal 31 ayat 1-5 UUD NRI Tahun 1945.
Analisis kedua, P2G berharap Pemerintah melakukan peninjauan kembali anggaran pendidikan dari kementerian-kementerian di luar kementerian pendidikan.
Ada sekitar 23 kementerian lembaga yang juga mengambil alokasi 20% anggaran pendidikan. Seperti penyelenggaraan pendidikan ikatan dinas dan sekolah di bawah kementerian seperti Kemenkeu, Kemdagri, Kementan, Kemenhan, dan lainnya.
"Anggaran sekolah ikatan dinas yang dikelola kementerian non kementerian pendidikan lebih dari Rp100 triliun, mestinya itu kemudian direalokasi ke kementerian yang mengurusi pendidikan saja agar lebih berkeadilan, proporsional, dan tepat sasaran sesuai perintah konstitusi," Satriwan menjelaskan.
Anaisis ketiga, P2G mendesak Presiden Prabowo agar merealisasikan janjinya untuk kesejahteraan guru, dosen, dan tenaga kependidikan.
Mengingat dalam Astacita Prabowo-Gibran disebut akan mewujudkan "Standar Upah Minimum Guru Non ASN dan Honorer".
"Janji mewujudkan standar upah minimum guru non ASN ini yang kami tagih sejak awal. Pemerintah Prabowo melalui RAPBN 2026 hendaknya segera menetapkan standar upah minimum tersebut. Jika ingin menunjukkan komitmennya," kata Iman Zanatul Haeri, Kabid Advokasi Guru P2G.
Iman menjelaskan, sampai hari ini pemerintah belum menetapkan standar upah minimum bagi guru non-ASN, termasuk guru-guru honorer. Sehingga kesejahteraan guru non-ASN, guru honorer, guru madrasah swasta, guru PAUD, penghasilannya masih jauh di bawah penghasilan minimum para buruh.
Pemerintah hendaknya menyadari perintah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 ayat 1 huruf a, bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum.
"Bagi P2G, pemberian insentif dan BSU dari pemerintah untuk guru sejatinya bukan kado HUT RI ke-80. Sangat tidak tepat pemerintah menggunakan istilah "kado untuk guru". Maaf, bukan kami kufur nikmat, tapi insentif 300 ribu perbulan bukanlah kado, tapi pemenuhan hak guru, yang itupun tidak terpenuhi seutuhnya," terang Iman.
Masih banyak guru honorer maupun non-ASN, seperti guru swasta termasuk guru madrasah, guru PAUD yang upahnya 200 ribu - 500 ribu perbulan, masih jauh di bawah standar upah minimum regional.
"Jika Presiden betul-betul ingin mensejahterakan guru, khususnya guru non-ASN maka sudah semestinya Pak Prabowo merealisasikan janji beliau di dalam Astacita yaitu penetapan standar upah minimum bagi guru-guru non-ASN yang berlaku secara nasional," kata Iman.
Analisis keempat, P2G berharap Pemerintah melakukan penataan ulang terkait dengan tata kelola sekolah, hal ini mengacu pada UUD NRI Tahun 1945 pasal 31 ayat 3, bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Menurut Iman, P2G berharap pemerintah memperbaiki tata kelola pendidikan khususnya pengelolaan sekolah. Satuan pendidikan seperti SMA Unggul Garuda dan Sekolah Rakyat hendaknya dikelola oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Sehingga perintah konstitusi terselenggaranya satu sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara konsisten.
"Tidak seperti sekarang, terjadi tumpang tindih antarkementerian pendidikan, Kemensos, pemda, dari aspek program, implementasi, termasuk rekrutmen siswa dan gurunya," Iman melanjutkan.
Kelima, P2G mendorong pemerintah segera merealisasikan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendidikan dasar gratis.
Sehingga sekola dan madrasah swasta tetap dapat menyelenggarakan pendidikan yang dibiayai oleh negara dan anak-anak Indonesia yang tak tertampung di sekolah negeri tetap mendapat hak pendidikannya, sebagaimana perintah MK.
"Sayangnya, membaca postur RAPBN 2026, pemerintah belum menunjukkan political will melaksanakan keputusan MK terkait pendidikan dasar gratis," sambung Iman.
(dec/spt)
































