Bisman memandang harga DME juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk turunan gas bumi seperti LPG.
Dengan demikian, menurutnya, pemerintah seharusnya memaksimalkan potensi gas bumi yang dimiliki Indonesia agar dapat dijadikan pengganti LPG, bukan justru mendorong hilirisasi batu bara menjadi DME.
“DME tidak jalan karena aspek keekonomian yang butuh dana besar, risikonya besar, sedangkan harga produknya tidak kompetitif. Selain itu juga masalah jaminan kepastian hukum bagi investor,” pungkas dia.
Dalam hasil prastudi kelayakan proyek prioritas hilirisasi dan ketahanan energi nasional yang dipaparkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, terungkap bahwa pemerintah berencana membangun proyek DME batu bara di 6 lokasi.
Loksi tersebut a.l. Bulungan, Kutai Timur, Kota Baru, Muara Enim, Pali hingga Banyuasin dengan nilai investasi Rp164 triliun yang akan disokong Danantara.
Bahlil pada Selasa (22/7/2025) menjelaskan DME batu bara tersebut masuk menjadi salah satu dari delapan proyek prioritas hilirisasi di sektor mineral dan batu bara (minerba). Nantinya, proyek tersebut akan terdiri dari proyek yang belum dijalankan dan juga proyek baru.
Adapun, proyek DME itu mengambil bagian sekitar 26,52% dari keseluruhan nilai investasi proyek yang diajukan Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional ke Danantara. Proyek itu juga diklaim dapat menyerap 34.800 tenaga kerja.
Besarnya porsi DME batu bara dalam proyek hilirisasi yang akan disokong Danantara sekaligus mengonfirmasi sinyal yang dilempar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno pada Maret.
“Paling gede DME. Proyek DME-nya 4, itu [nilai investasinya] sekitar US$11 miliar,” ujar Tri ditemui di kantornya, Selasa (4/3/2025).
Saat itu, bagaimanapun, rencana hilirisasi yang akan diajukan ke Danantara mencakup 21 proyek. Tri mengatakan nilai investasi gasifikasi batu bara menjadi DME ditaksir mencapai US$11 miliar atau sekitar Rp180,8 triliun dari total investasi untuk 21 proyek hilirisasi tahap pertama yang menembus Rp659,2 triliun.
Tri ketika itu memerinci proyek hilirisasi dari sektor pertambangan akan mencakup 4 proyek hilirisasi batu bara menjadi DME, 1 proyek hilirisasi besi, 1 proyek hilirisasi alumina, 1 proyek hilirisasi alumunium, 2 proyek hilirisasi tembaga, dan 2 proyek hilirisasi nikel.
Pembengkakan Subsidi
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membeberkan adanya risiko pembengkakan subsidi sebesar Rp41 triliun/tahun apabila DME dipaksakan untuk menyubstitusi subsidi energi untuk LPG.
Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan estimasi harga DME yang akan dihasilkan oleh perhitungan PTBA ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi keekonomian pemerintah.
Berdasarkan hasil kajian konsultan PTBA yakni Ernst & Young (EY), harga produksi DME yang dihasilkan di dalam negeri mencapai US$911—US$987 per ton atau lebih tinggi dari asumsi pemerintah sebesar US$617/ton.
Dalam perhitungan PTBA, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai sebesar US$710/ton atau lebih besar dibandingkan dengan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474/ton.
Arsal memerinci harga subsidi LPG eksisting saat ini ditetapkan sebesar Rp22.727 per 3 kg, jika dikalkulasikan secara tahunan dan diasumsikan sekitar 10,78 juta ton/tahun atau setara Rp82 triliun/tahun.
Sementara itu, untuk DME subsidi dibutuhkan sebesar Rp34.069 per 3 kg. Dalam setahun, estimasi kebutuhan DME sebesar 10,78 juta ton/tahun atau setara Rp123 triliun per tahun.
Dengan demikian, terdapat selisih Rp41 triliun yang merupakan risiko kenaikan subsidi.
“Tantangan keekonomian di mana estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Dan juga analisis perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” kata Arsal dalam rapat bersama Komisi XII pada Mei.
(azr/wdh)






























