"Komoditas penyumbang surplus terbesar dengan AS antara lain, mesin dan perlengkapan elektrik US$1,64 miliar; alas kaki US$1,06 miliar; dan pakaian dan aksesorinya US$1,02 miliar," demikian tercantum dalam data neraca perdagangan BPS yang dirilis Selasa (1/7/2025).
Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memproyeksikan tarif perdagangan 32% akan menurunkan output ekonomi Rp164 triliun. Kemudian, pendapatan tenaga kerja diproyeksikan turun Rp52 triliun, ekspor turun Rp105,9 triliun rupiah. Terakhir, mengakibatkan terjadinya penurunan serapan tenaga kerja 1,2 juta orang.
"Jadi Indonesia ini masalahnya Trump baru saja mengumumkan Indonesia kena 32%. Kemudian Indonesia gabung BRICS, itu tambahannya 10%. Jadi bisa sampai kena tarif 42%, ini berarti tidak ada kemajuan dari sisi negosiasi," ujar Bhima.
Sementara, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai keputusan Presiden AS Donald Trump mengatakan tarif perdagangan yang tinggi akan menyulitkan produk-produk Indonesia bersaing di pasar AS. Sektor yang potensial terdampak—seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan karet—merupakan tulang punggung ekspor nonmigas nasional.
"Pelaku usaha Indonesia tak punya banyak pilihan. Mereka mungkin akan memangkas margin, mengurangi produksi, atau bahkan menghentikan ekspor ke AS. Dampaknya tidak hanya menggerus devisa, tetapi juga memperbesar risiko pemutusan hubungan kerja pada sektor padat karya," ujarnya.
Syafruddin juga mengkhawatirkan efek rambatan terhadap perekonomian nasional. Ketika ekspor tertekan, pertumbuhan ekonomi ikut melambat. Realisasi pertumbuhan Indonesia tahun ini mengahadapi risiko tambahan.
Syafruddin menggarisbawahi pemerintah memang telah mengirim delegasi ke Washington, AS, tetapi belum berhasil menurunkan tarif meski sudah banyak menawarkan kemudahan yang sesungguhnya sulit buat kedaulatan ekonomi nasional.
"Kita tidak boleh larut menghadapi tarif Trump yang sesungguhnya adalah doktrin intimidasi yang belum pasti menguntungkan kita. Kita perlu menyadari bahwa Trump tidak mau perdagangan bebas maupun perdagangan adil, tetapi perdagangan yang tunduk," ujarnya.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan pemerintah memilih untuk melanjutkan negosiasi dengan AS ihwal tarif perdagangan. Hal ini dilakukan usai pernyataan Presiden AS Donald Trump yang memastikan Indonesia tetap mendapatkan tarif 32%.
Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto mengatakan keputusan untuk melanjutkan negosiasi dilakukan karena pemerintah menganggap masih ada ruang untuk menanggapi pernyataan AS.
"Masih tersedia ruang untuk merespons sebagaimana yang disampaikan oleh Pemerintah AS, Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan kesempatan yang tersedia demi menjaga kepentingan nasional ke depan," ujar Haryo dalam keterangan resmi, Selasa (8/7/2025).
Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan tetap akan mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia yang dimulai pada 1 Agustus 2025.
Melalui akun Truth Social resminya, Trump mengirimkan surat ke Presiden Prabowo Subianto mengenai pengumuman tarif tersebut.
Dalam pernyataannya, Trump meminta pemerintah Indonesia memaklumi keputusan AS, karena tarif 32% tersebut dianggap jauh lebih kecil dari yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesenjangan defisit perdagangan yang dimiliki dengan Indonesia.
"Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32% kepada Indonesia atas semua produk Indonesia yang dikirim ke AS, terpisah dari semua tarif sektoral. Barang yang dikirim ulang [transshipped] untuk menghindari tarif yang lebih tinggi akan dikenakan tarif yang lebih tinggi," tulis Trump kepada Prabowo dalam suratnya, dikutip Selasa (8/7/2025).
(lav)