"Bank Indonesia wajib memastikan transmisi suku bunga yang lebih rendah ke bank domestik," tambahnya.
Situasi perang ini, akan menyebabkan terganggunya distribusi migas (minyak dan gas) serta berbagai bahan baku melalui Selat Hormuz. Bhima memprediksi, estimasi harga minyak mentah akan menyentuh US$80-83 per barrel dalam waktu dekat, setidaknya awal Juli 2025.
Katanya, meski permintaan energi saat ini sedang turun tetapi konflik ini bisa mendorong naiknya harga minyak yang signifikan. Sehingga, pemerintah Indonesia harus memperhatikan inflasi harga yang melonjak di tengah daya beli yang lesu.
"Ini bukan inflasi yang baik, begitu harga BBM naik, diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat," tambahnya.
Sebagai catatan, harga minyak sudah naik 17% sejak serangan Israel ke Iran pada 13 Juni lalu, diperkirakan bisa menembus level ekstrem di US$130 per barel bila Iran sampai menutup Selat Hormuz, menurut perkiraan Bloomberg Economics.
Kenaikan harga minyak dunia bila berlanjut akan menambah tekanan defisit neraca perdagangan Indonesia karena peningkatan biaya impor energi.
Harga minyak yang tinggi ditambah pelemahan rupiah bisa menaikkan beban fiskal secara signifikan. Sebagai informasi, asumsi APBN untuk harga minyak ICP (Indonesian Crude Price) adalah US$82 per barel.
Setiap kenaikan US$1 di atas asumsi APBN melahirkan tambahan beban neto sekitar Rp7 triliun, sehingga defisit anggaran berpotensi melebar lebih dekat ke batas atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
(lav)






























