“Jadi untuk teknologi yang ditawarkan katanya itu ada dari China atau dari Rusia. Ini mungkin dari kunjungan Pak Menteri [Bahlil Lahadalia] kemarin [ke St. Petersburg, Rusia] mungkin ada pembahasan. Kita tunggu penjelasan dari Pak Menteri,” ujarnya.
Siapapun investor yang akan dipilih Indonesia dalam pengembangan PLTN perdanan nantinya, Yuliot menegaskan perusahaan tersebut harus memiliki teknologi yang kompeten dan memenuhi persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40%.
Semalam, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Rusia terbuka untuk kerja sama dengan mitra dari Indonesia di bidang nuklir, termasuk di bidang kesehatan, pertanian dan pelatihan staf.
Hal tersebut disampaikan Putin usai menerima Presiden Prabowo Subianto di Istana Konstantinovsky, St. Petersburg, Kamis (19/6/2025) petang, waktu setempat.
"Kami terbuka untuk kerja sama dengan mitra Indonesia di bidang nuklir. Kami juga berkeinginan untuk merealisasikan proyek nuklir di bidang damai, termasuk bidang kesehatan pertanian dan pelatihan staf," ujar Putin dalam keterangannya yang disampaikan secara virtual.
Rusia memang merupakan salah satu negara terbesar yang mengembangkan energi nuklir.
Menyitir situs resmi International Atomic Energy Agency, per 2024, Rusia memiliki 36 reaktor nuklir yang beroperasi dengan kapasitas total 26.802 MWe; 4 reaktor nuklir sedang dibangun dengan total kapasitas 3.850 MWe; 11 reaktor nuklir ditutup dengan total kapasitas 4.882 MWe; dan 18% dari totall listrik yang dihasilkan berasal dari energi nuklir.
Untuk diketahui, Rosatom sempat mengajukan dua proposal pembangunan PLTN di Indonesia dalam pertemuan antarperwakilan bisnis RI-Rusia medio April tahun ini.
Proposal itu disampaikan Kepala Perwakilan Rosatom di Indonesia Anna Belokoneva dalam Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia di Jakarta pada 14 April 2025.
Opsi pertama, perusahaan pembangkit nuklir asal Rusia itu mengajukan pembangunan SMR di daerah pedalaman dan PLTN dengan skala besar.
Untuk PLTN modular kecil, Rosatom akan membangunnya di Kalimantan Barat dengan kapasitas 3x110 MW.
Unit I akan dibangun pada 2032, unit II pada 2033, dan unit III dibangun pada 2035. Biaya rata-rata listrik atau levelized cost of energy (LCOE) dari pembangkit ini sekitar US$85 per megawatt/hour (MWh) sampai US$95 per MWh.
Sementara itu, untuk PLTN skala besar, Rosatom akan membangun dua PLTN di Bangka Belitung dengan kapasitas 2x1.200 MW. Sementara itu, di Kalimantan Selatan dengan kapasitas yang sama yakni 2x1.200 MW.
Dengan demikian, LCOE untuk dua pembangkit skala besar ini di rentang US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.
Adapun, Rosatom berencana untuk membangun dua PLTN skala besar tersebut secara bertahap pada 2037 hingga 2040 untuk ke empat pembangkit nuklir tersebut, dibagi ke dalam empat tahapan.
Opsi kedua, Rosatom mengusulkan untuk membangun PLTN terapung di Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x110 MW.
PLTN tersebut akan dibangun pada 2030 dan 2031. Adapun, tarif listrik diperkirakan di rentang US$150 per MWh sampai dengan US$190 per MWh.
Selain itu, Rosatom juga mengusulkan untuk membangun dua PLTN skala besar di Bangka Belitung dan Kalimantan Selatan dengan kapasitas masing-masing 2x1.200 MW.
PLTN tersebut akan dibangun secara bertahap mulai pada 2037 untuk unit I, 2038 untuk unit II, 2039 untuk unit III, dan 2040 untuk unit IV.
Rosatom mengajukan perkiraan tarif listrik untuk pembangkit yang disebut terakhir sekitar US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.
Kedua proposal pengembangan nuklir yang disampaikan Rosatom itu memiliki kapasitas terpasang mencapai 5 gigawatt (GW) sampai dengan 2040.
(wdh)

































