Logo Bloomberg Technoz

Selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF pun menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan tersebut. Dalam kunjungan mereka ke daerah Medan, TGPF sudah memperoleh laporan terkait ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi pada kerusuhan 4-8 Mei 1998, 5 di antaranya telah melapor. Sesudah kerusuhan Mei, terdapat 2 kasus yang terjadi di Jakarta pada 2 Juli 1998 dan 2 kasus terjadi di Solo pada 8 Juli 1998.

Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan di depan tempat usaha. Kebanyakan kasus tersebut terjadi di dalam rumah/bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus itu dilakukan di hadapan orang lain.

“Meskipun korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas soaial,” tulis TGPF dalam laporannya.

Sementara itu, Bonnie mengingatkan, penyangkalan terhadap peristiwa kelam pada kerusuhan Mei 1998 hanya bakal menambah luka batin para korban, keluarganya, serta masyarakat yang terlibat dalam tragedi tersebut. Terlebih hingga disebut sebagai rumor yang tak ada buktinya.

“Penyangkalan atas peristiwa pemerkosaan massal terhadap kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial 1998 hanya akan menambah beban traumatik pada penyintas dan keluarganya, bahkan kepada masyarakat yang mengalami peristiwa itu,” ungkap dia.

Soal Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Di samping itu, Bonnie memandang bahwa proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan RI di bawah kepemimpinan Fadli seharusnya tak melanggengkan budaya penyangkalan atas tindak kekerasan, khususnya kekerasan seksual pada kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan ’98.

“Kalau semangat menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara berpikirnya parsial dengan mempersoalkan istilah massal atau tidak dalam kekerasan seksual tersebut, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban perkosaan,” jelas Bonnie.

Kemudian dia mendesak Kementerian Kebudayaan RI untuk menghentikan proyek penulisan ulang sejarah jika hanya bertujuan politis. Apalagi kalau tujuan penulisan ulang sejarah ini guna menyeleksi cerita perjalanan bangsa Indonesia sesuai keinginan pemegang kekuasaan, sehingga bersifat parsial atau sebagian dan tak menyeluruh.

“Jangan lakukan penulisan sejarah melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial atas pertimbangan-pertimbangan politis. Apabila ini terjadi, lebih baik hentikan saja proyek penulisan sejarah ini,” pungkas Bonnie.

(far/spt)

No more pages