Menanggapi hal tersebut, Arya mengatakan belum mengetahui secara pasti pengawasan ketat seperti apa yang akan dilakukan pemerintah kepada Gag Nikel.
“Kami sih selalu bertanggung jawab [kepada] pemerintah terhadap titik-titik itu [yang menjadi lokasi produksi Gag Nikel]. Jadi kami sejujurnya belum tahu karena yang jelas pengawasan dari pemerintah itu posisinya [sesuai] dengan peraturan. Pasti apa-apa saja yang diminta, yang dicek.”
Gag Nikel tercatat mengamankan kuota produksi bijih nikel mencapai 9 juta ton basah atau wet metric ton (wmt) pada 2024—2026 dari konsesi tambang di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Perinciannya, Kementerian ESDM memberikan kuota produksi untuk 3 juta wmt pada 2024. Selanjutnya, kuota produksi bijih nikel yang sama masing-masing 3 wmt diberikan untuk alokasi 2025 dan 2026.
“RKAB pada 2025 yang diberikan hanya PT Gag Nikel yang lainnya tidak diberikan,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat memberi keterangan pers di Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
“Sekalipun Gag Nikel tidak kita cabut, atas perintah Presiden, kita awasi khusus dalam implementasinya. Jadi Amdal [analisis mengenai dampak lingkungan]-nya harus ketat, reklamasinya harus ketat, tidak boleh merusak terumbu karang. Kita akan awasi habis terkait dengan urusan di Raja Ampat," tegas Bahlil.
Berdasarkan data milik Antam, per Agustus 2024, Gag Nikel mencatatkan cadangan bijih nikel sebanyak 59 juta wmt. Sementara itu, potensi sumber daya dari tambang di Pulau Gag itu mencapai 318 juta wmt.
Aset tambang Antam di Pulau Gag itu sempat membetot perhatian publik selepas Greenpeace Indonesia menuding bahwa praktik tambang nikel merusak ekosistem di Raja Ampat.
Selain Pulau Gag, Greenpeace mengeklaim pulau kecil lain di sekitar Raja Ampat turut rusak akibat aktivitas tambang nikel di sana, di antaranya Pulau Kawe dan Pulau Manuran.
(wdh)
































