Dia juga mengingatkan kebijakan tersebut berpotensi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang menegaskan bahwa menteri maupun wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.
"Pegawai negeri, wamen, pendapatan resmi mereka tak jauh dari Rp100 juta/bulan. Tetapi jadi komisaris utama baik di Telkom maupun di Indosat biaa mendapat 45% gaji Dirutnya. Contohnya Dirut Telkom dalam RUPST lalu ditetapkan mendapat penerimaan setahun Rp26,4 miliar atau sekitar 2,2 miliar sebulan termasuk berbagai tunjangan," jelasnya.
Jawaban Menteri Meutya Hafid
Menanggapi isu ini, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan masukan dari publik tetap didengar, namun penunjukan komisaris bukan ranah kementeriannya.
"Masukan dari masyarakat tentu kita dengarkan juga. Namun demikian pada dasarnya [penunjukan Komut] ini juga bentuk pengawasan negara terhadap perusahaan-perusahaan telekomunikasi gitu ya," kata Menteri Komdigi Meutya Hafid saat ditemui di Depok, Jawa Barat, Rabu.
Ia menegaskan, saat ini pemerintah belum melihat adanya konflik kepentingan secara langsung. "Namun demikian tentu masukan-masukan silahkan. Nanti tentu akan dikaji oleh pemerintahan. Ini kebetulan bukan di Kementerian kami ya. Jadi penunjukannya nanti.. mungkin sebetulnya yang paling tepat menjawab adalah Danantara atau BUMN," jelasnya.
Pihak Istana sendiri juga telah menyatakan bahwa pemerintah tak melanggar aturan saat membiarkan sejumlah Wamen merangkap jabatan sebagai Komisarin pada BUMN.
Hal ini disampaikan sebagai respons munculnya kembali uji materi terhadap Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Khusus pada Pasal 23, beleid tersebut hanya memberikan larangan kepada menteri untuk rangkap jabatan; sedangkan wamen tak disebutkan. Sehingga aturan tersebut ditafsirkan wamen bisa rangkap jabatan.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengatakan, MK telah beberapa kali memimpin sidang judicial review tentang pasal tersebut. Salah satunya, kata dia, putusan MK nomor 80 tahun 2019 yang juga tak memasukkan wamen ke dalam daftar pejabat negara yang dilarang rangkap jabatan.
"Di pertimbangan ada kata-kata yang seperti itu, tapi dalam putusan tidak ada. Jadi apa yang dilakukan hari ini tidak melanggar putusan MK. Tidak menyelisihi putusan MK, kalau ada yang menggugat silahkan," kata Hasan kepada awak media, di kantornya, Selasa (3/6/2025).
Menurut dia, aturan yang berlaku saat ini hanya melarang pemimpin kementerian/lembaga (K/L) merangkap jabatan sebagai komisaris hingga direksi di perusahaan pelat merah maupun swasta.
"Jadi kalau anggota kabinet, Kepala PCO, nggak boleh memang. Menteri Sekretaris Negara nggak boleh memang. Tapi Wakilnya itu dibolehkan secara aturan, karena dalam putusan Nomor 80 tahun 2019 itu, tidak ada pernyataan bahwa Wakil Menteri tidak boleh merangkap jabatan," terang Hasan.
(prc/wep)


































