Pertama, ada kecenderungan menurunnya permintaan global dan fragmentasi perdagangan yang menyebabkan perlambatan ekspor sektor tambang Indonesia, seperti yang tampak dari turunnya nilai ekspor bahan bakar mineral sebesar 18,5% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada periode Januari–April 2025.
Kedua, sejak awal April 2025, terjadi lonjakan tarif global terutama pada logam, aluminium, dan energi yang memicu disrupsi harga dan volume perdagangan global. Hal ini menyebabkan produsen Indonesia—yang selama ini mengandalkan pasar ekspor seperti China, AS, dan India—mengalami tekanan harga dan peningkatan hambatan masuk pasar.
"Jika tren tersebut berlanjut, maka neraca perdagangan Indonesia berpotensi mengalami defisit bulanan di paruh kedua 2025, terutama jika harga komoditas ekspor utama seperti batu bara, minyak mentah, dan logam industri tetap dalam tren penurunan seperti yang diproyeksikan World Bank [penurunan harga energi 17% yoy dan logam 10% yoy di 2025]," ujarnya.
Sebagai respons, Josua menilai, pemerintah perlu waspada terhadap risiko fiskal ini dan mempertimbangkan kebijakan antisipatif seperti diversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-tradisional seperti Afrika dan Asia Selatan, perluasan insentif hilirisasi untuk menjaga nilai tambah ekspor, serta memperkuat perlindungan nilai tukar melalui instrumen moneter dan cadangan devisa.
"Selain itu, strategi penguatan penerimaan domestik seperti peningkatan kepatuhan pajak dan efisiensi belanja negara menjadi krusial untuk menutupi potensi shortfall akibat pelemahan kinerja ekspor," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan surplus neraca perdagangan Indonesia pada April 2025, yang terendah secara bulanan (month-to-month/mtm) sejak Mei 2020, merupakan dampak dari kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat.
Menurut dia, dampak kebijakan tarif perdagangan oleh Presiden AS Donald Trump memang terlihat pada April dan Mei 2025. Dalam hal ini, Bendahara Negara meyakini dampak kebijakan tarif Trump bakal makin terasa di seluruh dunia pada Mei 2025.
"Kalau April kemarin barangkali masih diumumkan pengiriman [shipment] sudah jalan, kita lihat pada Mei nya dampak di seluruh dunianya juga sudah terlihat," ujar Sri Mulyani saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, senin (2/6/2025).
BPS melaporkan surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$160 juta per April 2025 merupakan yang terendah secara bulanan (mtm) sejak Mei 2020 atau dalam 5 tahun terakhir. Pada Mei 2020, surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$2,09 miliar.
"Secara bulanan, surplus April 2025 ini merupakan surplus terendah sejak Mei 2020," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (2/6/2025).
Pudji mengatakan, rendahnya realisasi neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 disebabkan karena penurunan nilai ekspor 10,77% dibandingkan dengan Maret 2025 dan peningkatan impor 8,8% (mtm).
Pada saat yang sama, neraca dagang Indonesia juga mengalami surplus selama 60 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Pudji mengatakan surplus neraca dagang ditopang komoditas nonmigas. Komoditas surplus utamanya ialah bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani atau nabati, serta besi dan baja.
(lav)






























