Perubahan kebijakan tersebut menyeret harga minyak mentah berjangka ke level terendah empat tahun di bawah US$60/barel pada April, yang memengaruhi semua orang mulai dari pengemudi Amerika hingga pengguna petrokimia di Asia.
Hal ini memaksa produsen minyak dunia untuk menghadapi prospek yang mengkhawatirkan: Seberapa cepat Saudi dapat memulihkan kembali produksi jutaan barel minyak yang sudah lama tidak beroperasi?
Hasil pertemuan OPEC+ menandai puncak baru dalam dominasi jangka panjang Saudi atas aliansi tersebut.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan OPEC+ dan jaringan hubungan yang rumit antara Putra Mahkota Mohammed bin Salman dan Vladimir Putin dari Rusia — serta Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Arab Saudi memainkan peran besar," kata Thamir Ghadhban, mantan wakil perdana menteri Irak untuk urusan energi dan menteri perminyakan dari 2018 hingga 2020, dalam sebuah wawancara sebelum pertemuan OPEC+ pada Sabtu (31/5/2025).
"Sekarang ada semacam kekuatan bagi Saudi dalam OPEC+."
Kisah ini berdasarkan percakapan dengan delegasi saat ini dan sebelumnya dari anggota OPEC+, pakar industri, dan pejabat pemerintah.
Pergeseran kebijakan OPEC+ terbaru dimulai pada 3 April, ketika Arab Saudi dan tujuh negara OPEC+ lainnya mengejutkan pasar minyak dengan pengumuman kenaikan pasokan untuk Mei sebanyak 411.000 barel per hari (bph) — tiga kali lipat dari jumlah yang dijadwalkan.
Keputusan itu diambil bahkan ketika pasar minyak global terpuruk di tengah permintaan China yang melemah dan perang dagang Trump, yang menyebabkan harga minyak anjlok sebentar di bawah US$60 per barel.
Alih-alih membangun konsensus untuk pembalikan ini, Saudi telah memanggil anggota untuk konferensi video dadakan dan mengungkap rencana mereka hanya dengan pemberitahuan beberapa hari — atau dalam beberapa kasus beberapa jam.
Para pejabat mengatakan mereka tidak mengetahui apa yang mendorong perubahan haluan tersebut, dengan memberikan berbagai motif untuk menjelaskan mengapa pembela harga minyak tinggi yang paling gigih di dunia kini berusaha keras untuk menenggelamkannya.
Beberapa perwakilan mengatakan Riyadh hanya ingin menenangkan Trump, yang telah mendesak OPEC untuk menurunkan biaya bahan bakar dan mengunjungi negara-negara Teluk bulan lalu di tengah serangkaian kesepakatan bernilai miliaran dolar.
Pihak yang lain percaya kerajaan Saudi telah kehilangan kesabaran dengan kelebihan produksi oleh Kazakhstan dan Irak, dan bermaksud untuk mendisiplinkan mereka melalui "pengendalian tekanan" harga yang lebih rendah.
Orang-orang yang mengetahui masalah tersebut mengatakan Riyadh termotivasi oleh keinginan untuk merebut kembali pangsa pasar yang telah dilepaskannya selama bertahun-tahun kepada pengebor serpih AS.
Kebingungan internal berlanjut ketika Saudi mengadakan konferensi video lagi pada Mei, yang menghasilkan kesepakatan untuk lonjakan produksi kedua pada bulan berikutnya.
Unilateralisme ini kontras dengan tahun-tahun awal OPEC+, ketika negosiasi di kantor pusatnya di Wina dapat berlangsung hingga larut malam — atau hari-hari berikutnya — hingga kompromi antara posisi berbagai anggota tercapai. Meskipun Riyadh biasanya menang, setidaknya ada ruang untuk perdebatan.
"Tentu saja produsen yang lebih besar memegang kekuasaan lebih besar, tetapi mereka sadar bahwa anggota lain juga punya hak dan peran untuk dimainkan," kata Ghadhban dari Irak. "Kami punya hak. Kami biasa berdiskusi, kami biasa tidak setuju."
Oposisi Rusia
Pada saat anggota utama OPEC+ mengadakan konferensi video bulanan terbaru mereka pada Sabtu, pekan lalu, keretakan mulai muncul.
Rusia — satu-satunya anggota dengan produksi minyak dan pengaruh geopolitik yang sebanding dengan Arab Saudi — didukung oleh Oman dan Aljazair saat mereka berpendapat agar OPEC+ mempertahankan produksi tetap pada bulan Juli dan menunggu untuk menilai dampak dari peningkatan sebelumnya.
Namun tanpa adanya oposisi lain, proposal Saudi untuk menambah 411.000 bph disetujui. Sementara Rusia dan sekutunya mengalah, dan para delegasi menyangkal adanya perpecahan yang nyata, tidak diragukan lagi siapa yang menang.
Kesepakatan tersebut berarti OPEC+ baru saja melewati setengah jalan dari percepatan pemulihan produksi 2,2 juta barel per hari yang terhenti.
Anggota OPEC+ akan bertemu lagi pada 6 Juli untuk membahas peningkatan pasokannya untuk Agustus, ketika perbedaan antara Moskwa dan Riyadh akan kembali terjadi.
"Arab Saudi benar-benar memegang kendali," kata Jorge Leon, analis di Rystad Energy A/S, yang sebelumnya bekerja di sekretariat OPEC. "Ini bukan sekadar manajemen pasokan — ini kalibrasi strategis dengan maksud geopolitik."
(bbn)
































