Logo Bloomberg Technoz

Ketua Umum Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio tidak sepenuhnya menampik dugaan tersebut. Program bansos yang digelontor pemerintah memang memengaruhi anomali harga telur, tetapi tidak demikian halnya dengan harga daging ayam ras. 

Menurut Alvino, untuk daging ayam ras segar, jumlah yang diserap oleh pemerintah untuk program bansos pangan masih sangat kecil jika dibandingkan dengan produksi para peternak. 

“Produksi dari peternak ayam ras sekitar 80 juta ekor per pekan. Kebutuhan setiap pekan itu 50—-0 juta ekor, sehingga ada yang tidak terserap 20 juta ekor atau masih oversuplai,” katanya kepada Bloomberg Technoz, Sabtu (27/5/2023).

Pedagang memotong daging ayam yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (18/4/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)


Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas) jumlah penerima telur dan daging ayam ras dari program tersebut tidak lebih dari 1,4 juta keluarga rentan stunting (KRS). Setiap KRS di tujuh provinsi akan mendapatkan 1 kg daging ayam ras dan 1 kemasan berisikan 10 butir telur ayam ras sebanyak tiga kali dalam tiga bulan.

“Dibandingkan saja, produksi berapa, yang diserap berapa? Masih sangat kecil kan? Apalagi, itu setiap bulan hanya 1,4 juta penerima dan bukan 1,4 juta ekor karena mereka dapatnya per bulan 1 kg saja,” tutur Alvino.

Dampak ke Harga Telur

Di sisi lain, dia tidak menampik program bansos tersebut memang turut memengaruhi harga telur yang cenderung naik saat ini. Penyebabnya, jumlah telur ayam ras yang dibutuhkan untuk program tersebut boleh dikatakan tidak sedikit, mencapai 14 juta butir setiap bulannya dengan perhitungan 1,4 juta penerima.

“Kalau [pengaruh bansos ke harga] telur ini sangat mungkin. Demand sedang tinggi, karena ada bansos pangan tadi. Banyak juga hajatan di daerah-daerah. Permintaan tinggi, tetapi produksi ini turun 10%—20%,” ungkapnya.

Turunnya produksi menurut Alvino tidak terlepas dari cuaca panas yang melanda Tanah Air belakangan ini. Produksi menurun karena banyak ayam petelur yang mati lantaran tidak bisa bertahan dengan kondisi cuaca tersebut.

“Seperti kita tahu, banyak peternak kita yang masih menggunakan sistem tradisional atau kandang terbuka. Cuaca panas ya kandang pastinya ikut menjadi panas. Ayam-ayam petelur ini ada yang tidak kuat dengan panas tadi,” tuturnya.

Telur ayam di pasar. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Problem Harga Pakan

Bagaimanapun, Alvino berpendapat isu kenaikan harga jagung pakan adalah pokok permasalahan dari naiknya harga telur dan daging ayam ras belakangan ini. Dia mendesak pemerintah untuk segera mengatasi permasalahan tersebut.

“Harga jagung sekarang sudah turun, tetapi harga jagung pakan tidak ikut turun. Ini pemerintah harus segera cari upaya agar harga pakan bisa ikut turun atau kembali normal,” tegasnya.

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi sebelumnya menyebut lonjakan harga telur dan daging ayam ras belakangan ini disebabkan oleh peningkatan biaya produksi. Terjadi perubahan biaya produksi di tingkat peternak, khususnya variabel biaya pakan.

“Berdasarkan Struktur Ongkos Usaha Tani [SOUT], biaya pakan berkontribusi sebesar 67% dari biaya pokok produksi,” katanya melalui keterangan resmi awal pekan ini.

Oleh karena itu, dia menilai diperlukan pembenahan yang dimulai di tingkat hulu yang secara sistematis akan turut membentuk harga di tingkat hilir. Dengan demikian, Bapanas menyatakan akan memprioritaskan stabilisasi harga pakan untuk menjaga biaya produksi di tingkat peternak.

(rez/wdh)

No more pages