"Mereka sangat responsif dan meminta [agar wacana pembentukan aliansi nikel global] segera dilanjutkan," tutur Julian.
Urgensi
Julian menjelaskan rencana pembentukan aliansi nikel sebenarnya ditujukan untuk memperkuat posisi negara-negara utama penghasil nikel, khususnya Indonesia, dalam rantai pasok mineral kritis global karena nikel merupakan bahan baku kunci industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) serta energy storage.
Dengan adanya aliansi nikel global, kata Julian, nantinya negara penghasil nikel mendapatkan manfaat yang lebih adil dari ekosistem industri ini; baik dari sisi harga, posisi tawar di pasar global, maupun potensi diversifikasi pasar serta kedaulatan sumber daya yang dimiliki.
“Jadi menurut saya masih perlu pembentukan aliansi ini,” tegasnya.
Namun demikian, wacana pembentukan aliansi nikel global seperti yang pernah diutarakan Bahlil Lahadalia saat menjadi Menteri Investasi pada 2023 mandek dan belum ada perkembangan yang signifikan.
Berbeda pandangan, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai aliansi nikel global secara umum masih belum dibutuhkan atau belum ada urgensinya. Walakin, dia belum mengetahui detail terkait dengan ide dan konsep aliansi nikel global yang digagas Indonesia.
Bisman berpendapat Indonesia dan Filipina—yang berencana untuk melarang ekspor bijih nikel — tidak memiliki kepentingan ekonomi global terkait dengan nikel mentah karena yang dipasarkan adalah nikel olahan atau bahan baku industri.
“Jadi lebih baik fokus ke hilirisasi, mengembangkan ekosistem industri berbasis nikel tidak hanya smelter tetapi sampai ke industri turunan,” ucap Bisman.
Wacana pembentukan nikel global sempat mengemuka pada awal 2023. Bahlil yang saat itu menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berencana untuk melakukan perjalanan ke produsen nikel utama termasuk Australia, Brasil, dan Filipina guna mempromosikan rencana pembentukan aliansi tersebut.
Akan tetapi, niat baik tersebut rupanya tidak disambut baik oleh Filipina; produsen nomor nikel dua dunia.
“Jika harga bahan baku naik, hal itu akan memengaruhi harga produk jadi, yang kami impor, dan itu akan sangat merugikan kami,” kata Dante Bravo, Presiden Asosiasi Industri Nikel Filipina, dalam sebuah wawancara bersama Bloomberg pada Maret, 2023.
"Saya bukan orang yang percaya pada pasar yang dikendalikan."
Wacana pelarangan ekspor mineral bijih menyeruak pada awal Februari 2025, saat pemimpin Senat Filipina mengatakan Kongres berpotensi meratifikasi RUU larangan ore paling cepat pada Juni tahun ini.
RUU tersebut bertujuan untuk melarang ekspor bijih mentah dalam upaya Filipina meningkatkan industri pertambangan hilir.
Adapun, jika RUU disetujui, pemberlakuan larangan ekspor bijih mineral kemungkinan akan lima tahun setelah undang-undang ditandatangani, guna memberi waktu kepada para penambang untuk membangun pabrik pemrosesan.
"Jika ini dilakukan, saya yakin ini akan menjadi game changer bagi negara kita jika kita akhirnya akan memiliki pemrosesan di sini," kata Escudero, yang menulis RUU yang disahkan Senat pada pembacaan ketiga dan terakhir pada Senin.
Bukan kali pertama Filipina berupaya melarang ekspor mineral bijih. Pada 2014 dan 2016, Kongres pernah menyuarakan wacana tersebut, tetapi gagal karena minimnya dukungan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.
Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Sementara itu, dari sisi pemurnian atau smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).
(wdh)





























