India melakukan serangan militer terhadap sembilan target di wilayah Pakistan pada Rabu pagi, yang oleh New Delhi disebut sebagai aksi “tepat dan terukur” serta “tidak bertujuan memicu eskalasi”. Serangan tersebut menjadi pelanggaran terjauh terhadap wilayah Pakistan sejak Perang 1971. Militer Pakistan menyebutkan 31 warga sipil tewas akibat serangan itu, sementara Perdana Menteri Shehbaz Sharif menegaskan Pakistan akan membalas.
Militer Pakistan mengklaim telah menembak jatuh beberapa pesawat India, termasuk tiga Rafale, satu MiG-29, dan satu SU-30, meski belum memberikan bukti. Dalam konferensi pers di New Delhi, Sekretaris Luar Negeri India Vikram Misri menjelaskan hasil investigasi terkait serangan militan April lalu, namun tidak menanggapi klaim Pakistan.
"India mungkin akan meremehkan dampaknya, tetapi Pakistan yang membesar-besarkan kerusakan justru bisa meredam dorongan untuk eskalasi lebih lanjut," tulis Ankit Panda, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, dalam unggahan di media sosial.
Panda menambahkan, dengan catatan bahwa situasi bisa cepat berubah, "Pakistan kemungkinan akan merasa perlu membalas secara seimbang," termasuk dengan melakukan serangan terhadap sembilan target di wilayah India.
China menyebut operasi militer India sebagai sesuatu yang disesalkan. Kementerian Luar Negeri di Beijing menyerukan agar kedua pihak menahan diri dan menghindari tindakan yang bisa memperumit situasi.
China adalah pendukung utama Pakistan dan juga pemasok senjata terbesar bagi negara itu. Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute, yang memantau perdagangan senjata global, sekitar 82% impor senjata Pakistan pada periode 2019–2023 berasal dari China.
Klaim Pakistan bahwa mereka berhasil menembak jatuh jet tempur India menjadi topik hangat di platform media sosial China seperti Weibo. Beberapa warganet China menyambut kabar itu dengan bangga atas kekuatan militer negaranya. Salah satu komentar populer menyebut, jika kabar itu benar, “Seluruh perusahaan industri pertahanan utama China akan kebanjiran pesanan.”
Mantan pemimpin redaksi tabloid nasionalis Global Times, Hu Xijin, menulis di WeChat bahwa jika klaim Pakistan terbukti benar, maka ini menunjukkan “tingkat manufaktur militer China sudah melampaui Rusia dan Prancis,” dan bahwa Taiwan seharusnya merasa “lebih takut lagi.”
Saham perusahaan pertahanan China menguat pada Rabu setelah klaim Pakistan tersebut. Para analis di Bloomberg Intelligence mencatat bahwa konflik India-Pakistan, jika terus memanas, bisa menjadi ajang uji coba senjata China yang selama ini belum banyak teruji di medan perang, dan ini bisa mengurangi keraguan terhadap kemampuan tempurnya.
Rusia dan China selama ini menjadi pemasok senjata utama bagi negara-negara Asia Selatan. Ketegangan antara India dan Pakistan terjadi bersamaan dengan kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Moskow dalam rangka peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II di Eropa. Xi dijadwalkan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis (8/5/2025).
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu menyebut konflik India-Pakistan sebagai “sangat mengerikan” dan berharap kedua negara bisa “menyelesaikannya.”
“Mereka saling balas, jadi mudah-mudahan sekarang bisa berhenti,” kata Trump saat menjawab pertanyaan dalam sebuah acara di Gedung Putih. “Kami punya hubungan yang baik dengan kedua negara, dan saya ingin ini segera berakhir. Jika saya bisa membantu, saya akan siap.”
Terakhir kali kedua negara hampir terlibat perang besar terjadi pada tahun 2019, setelah seorang pelaku bom bunuh diri menewaskan 40 anggota pasukan keamanan India. India menuding Pakistan dan membalasnya dua minggu kemudian dengan serangan udara pertama ke wilayah Pakistan sejak 1971. Pakistan lalu menembak jatuh satu jet tempur India dan menangkap pilotnya, yang kemudian dibebaskan. Ketegangan mereda tak lama setelah itu.
Meski secara militer keduanya mampu saling menghancurkan, secara ekonomi India kini memiliki posisi jauh lebih kuat. Produk domestik bruto (PDB) India tercatat lebih dari delapan kali lipat Pakistan, menurut data Bank Dunia—selisih yang dua kali lebih besar dibanding awal abad ini.
Pakistan sendiri baru mulai bangkit dari krisis ekonomi yang nyaris membuatnya bangkrut. Saat ini, negara tersebut masih bergantung pada program pinjaman sebesar US$7 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).
(bbn)






























