Logo Bloomberg Technoz

Dia menyebut di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), sumber energi nuklir tidak lagi dijadikan sebagai opsi terakhir seperti halnya dalam peraturan eksisting. Nuklir nantinya akan sejajar dengan sumber daya energi terbarukan maupun energi baru yang lain.

“[Hal] yang pasti, Pak Menteri [ESDM Bahlil Lahadalia] mengarahkan bahwa target kita di nanti RUPTL [Rencana Usaha Pengadaan Tenaga Listrik] yang baru kan ada sesuai RPP KEN dan sesuai RUKN [Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional]," kata Eniya.

"Itu ada dan memang harus dipercepat, dan pasti konsolidasi regulasi dan penguatan ekosistem kelembagaannya juga harus mantap,” ujarnya.

Siapkan Anggaran

Di sisi lain, dia menuturkan nantinya akan ada sosialisasi ketika pemerintah akan membuka tender untuk memilih perusahaan yang akan menggarap PLTN di Tanah Air. Namun, hal terpenting yang harus dipersiapkan yakni mengenai anggaran. 

Eniya mencontohkan di sejumlah negara yang tengah membangun PLTN, seperti Bangladesh dan Turki, pendanaan pembangunan PLTN berasal dari negara pendonor ataunya biaya dalam negeri.

“Kalau misalnya dengan negara pendonor juga yang membantu membangkit. Berarti kan ada kolaborasi tertentu. Tapi kalau negara ini mau menggunakan dananya sendiri berarti kan tender umum. Nah ini sama sekali belum. Nanti itu tugas dari Pokja 1 [dalam Nepio] untuk perencanaan dan penetapannya,” jelas Eniya.

Dalam pertemuan antarperwakilan bisnis RI-Rusia medio April, Rosatom mengajukan dua proposal pembangunan PLTN di Indonesia. 

Proposal itu disampaikan Kepala Perwakilan Rosatom di Indonesia Anna Belokoneva dalam Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia di Jakarta pada 14 April 2025.

Opsi pertama, perusahaan pembangkit nuklir asal Rusia itu mengajukan pembangunan PLTN modular atau small modular reactor (SMR) di daerah pedalaman dan PLTN dengan skala besar.

Untuk PLTN modular kecil, Rosatom akan membangunnya di Kalimantan Barat dengan kapasitas 3x110 megawatt (MW).

Unit I akan dibangun pada 2032, unit II pada 2033, dan unit III dibangun pada 2035. Biaya rata-rata listrik atau levelized cost of energy (LCOE) dari pembangkit ini sekitar US$85 per megawatt/hour (MWh) sampai US$95 per MWh. 

Sementara itu, untuk PLTN skala besar, Rosatom akan membangun dua PLTN di Bangka Belitung dengan kapasitas 2x1.200 MW. Sementara itu, di Kalimantan Selatan dengan kapasitas yang sama yakni 2x1.200 MW.

Dengan demikian, LCOE untuk dua pembangkit skala besar ini di rentang US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.

Adapun, Rosatom berencana untuk membangun dua PLTN skala besar tersebut secara bertahap pada 2037 hingga 2040 untuk ke empat pembangkit nuklir tersebut, dibagi ke dalam empat tahapan.

Opsi kedua, Rosatom mengusulkan untuk membangun PLTN terapung di Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x110 MW.

PLTN tersebut akan dibangun pada 2030 dan 2031. Adapun, tarif listrik diperkirakan di rentang US$150 per MWh sampai dengan US$190 per MWh.

Selain itu, Rosatom juga mengusulkan untuk membangun dua PLTN skala besar di Bangka Belitung dan Kalimantan Selatan dengan kapasitas masing-masing 2x1.200 MW.

PLTN tersebut akan dibangun secara bertahap mulai pada 2037 untuk unit I, 2038 untuk unit II, 2039 untuk unit III, dan 2040 untuk unit IV.

Rosatom mengajukan perkiraan tarif listrik untuk pembangkit yang disebut terakhir sekitar US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.

Kedua proposal pengembangan nuklir yang disampaikan Rosatom itu memiliki kapasitas terpasang mencapai 5 gigawatt (GW) sampai dengan 2040.

Dalam perkembangan terbaru, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan PLTN di Indonesia dapat beroperasi pada 2030 atau berpeluang lebih cepat dua tahun dari target komersialisasinya yang ditetapkan pada 2032 dan lebih awal dari rencana semula pada 2039.

(mfd/wdh)

No more pages