Bloomberg Technoz, Jakarta – Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan neraca perdagangan Indonesia berisiko menuju defisit bulanan pada semester II-2025 jika tren harga dan volume ekspor menurun tajam, apalagi bila terjadi gangguan lanjutan dalam rantai pasok global.
Terlebih, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam laporan terbaru memproyeksikan pertumbuhan perdagangan global akan berkurang setengahnya dari 3,8% pada tahun lalu, menjadi 1,7% pada tahun ini.
"Dengan tekanan simultan dari sisi permintaan global yang melemah, harga komoditas yang cenderung menurun, dan tekanan kebijakan proteksionis global, neraca perdagangan Indonesia pada semester II-2025 berisiko menyempit, bahkan bisa menuju defisit bulanan," ujar Josua kepada Bloomberg Technoz, dikutip Sabtu (26/4/2025).
Secara umum, kata Josua, penurunan volume perdagangan global mencerminkan melemahnya permintaan eksternal yang merupakan pendorong utama ekspor Indonesia.
 
Josua mengatakan, IMF menegaskan lonjakan tarif Amerika Serikat (AS) dan ketidakpastian kebijakan dagang menimbulkan kejutan negatif terhadap permintaan eksternal negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti China, AS, dan Uni Eropa.
Hal ini dapat meredam ekspor Indonesia, yang secara historis sangat bergantung pada komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), serta produk hilirisasi nikel dan tembaga.
Pada Maret 2025, ekspor Indonesia memang masih tumbuh 3,16% secara tahunan dan surplus dagang tercatat US$4,33 miliar.
Namun, pertumbuhan tersebut ditopang oleh ekspor logam seperti nikel dan tembaga karena pembukaan kembali ekspor PT Freeport Indonesia, serta efek penimbunan (front-loading) dari negara mitra seperti AS menjelang tarif berlaku.
"Ini adalah window dressing yang tidak berkelanjutan. Mulai April, efek langsung dari tarif AS dan potensi perlambatan ekonomi global akan menekan ekspor, khususnya ke AS yang selama ini menyumbang sebagian besar surplus perdagangan Indonesia meski hanya 1,9% dari PDB," ujarnya.
Selain itu, harga komoditas energi seperti batu bara dan minyak mentah menunjukkan tren penurunan pada Maret—April 2025, melemahkan nilai ekspor Indonesia, meskipun volume tidak turun signifikan.
Secara umum, harga batu bara masih berada di tren negatif. Sepanjang 2025 atau year to date (ytd), harga sudah anjlok 24,11%. Selama setahun terakhir, harga batu bara jatuh 32,59%.
Hal ini memperburuk ketentuan perdagangan (terms of trade) Indonesia. Sementara itu, kenaikan impor mesin dan barang modal dari China bisa menjadi sinyal positif jangka panjang merupakan indikasi relokasi investasi.
Namun, dalam jangka pendek, hal ini justru menambah tekanan terhadap neraca dagang jika tidak diimbangi ekspor manufaktur yang kuat.
Sebagai respons, pemerintah perlu memperkuat strategi diversifikasi ekspor, baik pasar dan produk, mempercepat hilirisasi industri berbasis sumber daya, serta memanfaatkan peluang dari pergeseran rantai pasok (trade diversion) akibat perang dagang AS-China.
Indonesia juga harus siap mengantisipasi volatilitas nilai tukar yang bisa mengikuti perubahan arus modal dan ekspor.
(dov/wdh)
































